Sebuah kisah klasik namanya sejenis komplikatik. Ceritanya menggelitik, mengeruk ulu hati.
Dan menjamah semua ujung-ujung urat nadiku.
Oke, namanya dilematik. Kata nya jatuh dari serapan asing. Ia membisikkan dua hidup.
"Mau yg ini atau yg itu nti?"
aku diam
"Ayo, waktumu akan segera mencapaimu"
aku membuka, suara
Tidak ada yg kupilih, apa jaminan atas mereka? Bukankah mereka tidak mengenal bola mataku? Dan, mereka tidak menyentuh ujung jariku. Selanjutnya, aku tak terjamin atas mereka.
"Tolol, kau pilih saja lah!"
Kian nanti demi ibuku. Aku takkan rela kau kalahkan.
"Kau tahu aku telah mengabutimu, bagaimana kau akan lari, heh? "
Tak ada yg berharap lari, aku akan menikam, mati. Menjemputmu.
"Pilih !"
Aku sudah memilih.. Aku mengalah, pada kecebong layaknya kamu.
"katakan padaku, apa yg kau pilih"
Aku tidak memilih, ma
"kamu menyesal"
Hening, hening. Sungguh klasik. Sampai pada sang buritan, dan banyak terdengar jeritan..
Aku kembali, aku pilih yg tepat dan rajin shalat. Kamu jangan datang lagi ya..
"kau telah menghalauku, dan menjawabku. Aku pergi (dengan bahagianya)"
Nan, pada akhirnya, ia tetap butuh pilihan. Hanya saja terlalu munafik, kala ia lagi menampik. Dan sang waktu tetap menunggu.. Jadi tidak lagi harus diburu.
Dan, bukannya sama saja. Karena, ketika kita tidak memilih sebuah pilihan tetap saja kita telah memilih.
Jadi harusnya nyonya dilematik dalam klasik ini, mati. Kita hampiri bukan hindari.
Minggu, 18 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
nice! :)
Posting Komentar