Jumat, 11 Februari 2011

Malam ini mengenai sajak.

Siapa yang mengatakan ini sebuah malam?

Ibuku tidak. Hatiku tidak.

Tapi malam ini mengenai sajak.

Mengenai ketika hati membuka kembali untuk terus terpekur, diam, merinai, dan berelegi. Padahal sudah janji sendiri takkan lagi ada Tuan elegi. Sajak mengenai hari ini akan ada gelombang baru. Gelombang nan merdu melebur semua gelisah. Aku merenung pada untaian gerimis. Aku berharap ada ice cream di antaranya. Aku menulis dengan sebuah harapan suatu hari ada gelombang yang benar besar menghapus kegalauanku. Ya, kata-nya familiar, sering aku dengar di perbincangan per-twitteran, tapi sastra belum ada yang menyentuhnya dari pemuda-pemudi tersebut. Padahal galau dari dunia roman yang ada di duniaku dulu.

Aku menulis bukan sebagai renungan jamban yang dulu aku bicarakan, aku berharap aku berfikir dan menjadi yang aku fikirkan. Hei pujangga, ini sajak bukan deskriptif mengenai pikiran dan hidup kotormu. Coba renungkan, denyut nadimu, otak kecilmu, bahkan jemari-jemarimu yang mini. Mana mungkin akan meraih dunia! Gerimispun kau akan layu!

Beradu. Payu.

Sebenarnya kita membicarakan apa. Bukankah waktunya akan tiba? Bukankah hatimu sudah mati sejak dulu. Jangan berharap lagi.

Aku terbagi. Aku yang merenung, aku yang menangis, aku yang menggelut, aku yang sendiri. aku yang iri, aku yang pergi, aku yang sedih ingin bicara apa. Aku yang tak sabar melihat matari, matari realita seperti yang Ananta Toer sering sebut. Aku rindu membaca bukunya, melihat pantai, menghirup kopi susu tertawa dan membakar deruan asap senja.

Ini sudah Pebruari, bulan kesayanganku di dunia. Hal yang menjadikan aku. Hari-hari yang menyenangkan aku. Hari-hari menuju hari yang menjadikan aku. Hari-hari aku bercinta dengan sahabat-sahabat yang merinai-rinai di kepalaku. Hari-hari yang menjadikan akau melihat dunia. Aku mencinta. Aku rancu.


Aku- Sore 10/02/11 to 11/02/11

0 komentar: