Dearest alter ego,
Saya kembali merasakan elegi sebelumnya, suatu hari saya akan sadar mengapa semuanya terjadi sama saya. Saya nggak habis pikir, di zaman sekarang justru keprimitifan begitu meluas, emosional tiap orang semakin menggebu-gebu ketika mereka sadar mereka punya pilihan atau alternatif dalam bersikap. Tapi selama ini yang saya hadapin, mereka nggak pernah punya benar-benar alasan untuk menampik saya, karena saya begitu beralasan dalam menghadapi semuanya.
Ketika semuanya sibuk berkoar mengenai demokratisasi pikiran, menempuh totalitas liberal dalam kehidupan, masih aja hal-hal yang.. apa ya.. konyol lah. Dear, opini adalah bahasa tubuhmu, bahasa yang ngga sempat kita lakukan dengan tindakan, bahasa yang mewakili ego dalam diri kita. Kita semua berhak beropini apalagi memiliki alasan. Karena toh pada akhirnya kita juga akan bicara, sekalipun kacau, dan merusak. Ya, asal ngerti batas lah..
Saya pernah mengatakan di antara kita memiliki kepentingannya masing-masing, dan buat saya memang ada batasan untuk melakukan itu semua. Ada pandangan-pandangan lain dan sportifitas itu dibutuhkan.
Kalau saya salah saya selalu mengaku dan minta maaf. Tapi saya enggan menarik apa yang sudah saya lemparkan, karena buat saya bentuk ambiguitas dari semua lontaran di setiap akun dunia maya milik saya adalah ciri khas bagi diri saya sendiri untuk bicara, demikian saya menjaga diri saya, hasrat otak saya. Yaudah lah lo anggep banget sih, emangnya saya sih siapa, bukan siapa-siapa. Setiap orang yang kepengaruh sama saya, nggak sengaja saya lakukan. That’s real me. Sejak saya SMA, saya juga berusah menjadi apatis dan sok melapangkan dada ngeliat hal-hal yang anarkis bahan cenderung frontal, dari foto ataupun bahasa orang-orang yang tai kucing banget, yaudah lah buat saya itu toh hidup-hidupnya dia, kalo dia benar-benar nggak suka sama saya dan keluarga saya, menyebutkan nama jelas, baru saya ajakin main smack-downnya. Tuh, bahasa saya ambigu dan lebai. Masih aja dibaca...
Semuanya berhak menghapus atau bahkan membenci saya, kalo pun contohnya saya nggak suka sama orang, ketika saya bicara di mana-mana, saya nggak akan menyebutkan namanya, saya menjaga perasaan, biarin deh ngerasa sono ngerasa, itu karakter saya. Mereka membaca, kege-eran sendiri, dan protes teriak-teriak di muka saya. Padahal mereka bahkan nggak mengerti apa yang saya bicarakan. Sudah kejadian berkali-kali.. Semua akun dunia maya dan pembicaraan saya memang kontroversial, it’s okay, terima kasih.
Saya hanya kecewa, kecewa sekali kepada pihak-pihak yang begitu menyakitkan hati saya ketika mereka menampik. Mungkin egoisme dalam diri saya. Mungkin itu adalah kritik, farenya saya emang harus terima. Hal-hal tersebut yang mendewasakan saya untuk menulis.
Saya bicara begitu banyak dengan cermin pagi ini, saya begitu kekanak-kanakan, saya hanya nggak mau dianggap salah.
Saya bertindak setelah berpikir. Ini bukan sebuah alasan yang dibuat-buat loh, hanya emosional, kali saya mengakuinya.
Ya, suatu hari saya berharap saya menemukan alasan yang selanjutnya, lebih jelas. Dikritik sama orang kesukaan itu emang ngga baik buat hati. Kepikiran terus, taik. Beda rasanya ketika diprotes orang sampai ngelabrak saya di kelas karena ngga suka sama tulisan saya atau dipanggil kepala jurusan karena ke....... seseorang membaca tweet saya. Sekian, terima kasih lagi.
0 komentar:
Posting Komentar