Sebenarnya aku malu,
aku malu mengisi diari yang penuh omong kosong ini. Sama ketika aku masih di
dunia dulu, sekarang yang entah aku ada di mana. Aku berharap masih ada di
antaranya..
Aku melaju menyusur
kota yang telah tua melata, aku diam menikmati hening dan imaji.. aku terhenyak
kepada bualan suara pedagang angin yang membual dan menyejukkan hati. Aku
sedang menikmati hidup kala itu. Kemudian aku pulang, membaca surat kabar
perantauan, semua merantau kepada tulisan yang menyentuh setiap sudut kota dan
berharap diperhatikannya. Semua orang bicara, bicara mengenai aku, di
belakangku. Aku melihat tindak tanduknya
dan aku meminum hangat air yang disediakan pada cawan hijau bundar di mataku..
aku menikmati setiap detik klasik di hidupku kali ini.
Aku beranjak dan
menatap langit di atas balkon rumah pohon yang aku bangun di atas sebuah pohon
di pinggir tebing dengan tinggi ribuan meter menuju bawahnya. Aku menantang
diriku dan melahirkan apatisme yang menantang mautku sendiri. Aku tak muda
lagi. Dan aku sendiri.
Aku menyesal beberapa
bagian hidupku yang aku lewatkan dengan tidak baik-baik, aku terenyuh menatap
kapal berterbangan di atas kepalaku, mereka siap menghantam dan menghancurkan
kepalaku seketika. Zaman sekarang yang dulunya hanya bertambat di air, kini
beterbangan merajut awan gumawan. Aku tetap memikirkan keberadaan puing-puing
hidup di masa yang lampau. Aku terus meyakinkan diriku, aku masih memiliki
waktu, mendaptkan kamu, entah di mananya.
Aku sempat berpikir,
apabila kematian hanya berjodoh dengan yang mati. Bagaimana mungkin aku
menghidupkan kembali yang sudah pergi. Aku merubah kesegalanya dalam hidupku,
aku menutup dalam-dalam hatiku, aku menjadi laut yang kian dalam dan ganas, aku
memanggil semua yang menginginkanku. Bukankah kamu selalu mengatakan aku laut
yang memesona? Aku membangun harapan. Jadi kali ini kamu yang menyia-nyiakan
aku dan hidup. Cinta memang seharusnya berbalas, bukan? Jadi aku terima dengan
lapang dada. Agar suatu hari, ada satu titik kita mengenang dan jatuh cinta, membuatmu
tertawa bagaimana aku dan kamu berjuang. Langit masih menantangku, ia getarkan
tebing yang merayap ke telapak kakiku.
Kakiku bergetar, aku
banting cawan hijau bundar itu. Aku memeluk erat dadaku yang sesak karena rindu
yang sia-sia. Cemburu menderu-deru. Dan seluruh tubuhku bergetar menangis diam.
Tidak aku teteskan buih yang ingin kau lihat di sana, tiga puluh tahun aku
menunggu rasanya masih tidak akan cukup. Aku masih bertahan kepada secercah
surga yang kamu janjikan, orang mati yang aku cintai. Aku memungut dan
mencarimu, aku bicarakan kamu kepada Tuhan, aku lakukan semua yang ada di
benakmu.
Semua orang memberi
jodoh kepadaku, semacam cinta yang menyerupaimu. Mereka berlomba mencari
perasaanku. Mereka mencari-cari bagaimana aku. Tapi waktuku belum selesai,
selama aku belum tahu apakah kita ……..