Minggu, 15 Juli 2012

Secercah Surga 2


Sebenarnya aku malu, aku malu mengisi diari yang penuh omong kosong ini. Sama ketika aku masih di dunia dulu, sekarang yang entah aku ada di mana. Aku berharap masih ada di antaranya..

Aku melaju menyusur kota yang telah tua melata, aku diam menikmati hening dan imaji.. aku terhenyak kepada bualan suara pedagang angin yang membual dan menyejukkan hati. Aku sedang menikmati hidup kala itu. Kemudian aku pulang, membaca surat kabar perantauan, semua merantau kepada tulisan yang menyentuh setiap sudut kota dan berharap diperhatikannya. Semua orang bicara, bicara mengenai aku, di belakangku.  Aku melihat tindak tanduknya dan aku meminum hangat air yang disediakan pada cawan hijau bundar di mataku.. aku menikmati setiap detik klasik di hidupku kali ini. 

Aku beranjak dan menatap langit di atas balkon rumah pohon yang aku bangun di atas sebuah pohon di pinggir tebing dengan tinggi ribuan meter menuju bawahnya. Aku menantang diriku dan melahirkan apatisme yang menantang mautku sendiri. Aku tak muda lagi. Dan aku sendiri.  

Aku menyesal beberapa bagian hidupku yang aku lewatkan dengan tidak baik-baik, aku terenyuh menatap kapal berterbangan di atas kepalaku, mereka siap menghantam dan menghancurkan kepalaku seketika. Zaman sekarang yang dulunya hanya bertambat di air, kini beterbangan merajut awan gumawan. Aku tetap memikirkan keberadaan puing-puing hidup di masa yang lampau. Aku terus meyakinkan diriku, aku masih memiliki waktu, mendaptkan kamu, entah di mananya.
Aku sempat berpikir, apabila kematian hanya berjodoh dengan yang mati. Bagaimana mungkin aku menghidupkan kembali yang sudah pergi. Aku merubah kesegalanya dalam hidupku, aku menutup dalam-dalam hatiku, aku menjadi laut yang kian dalam dan ganas, aku memanggil semua yang menginginkanku. Bukankah kamu selalu mengatakan aku laut yang memesona? Aku membangun harapan. Jadi kali ini kamu yang menyia-nyiakan aku dan hidup. Cinta memang seharusnya berbalas, bukan? Jadi aku terima dengan lapang dada. Agar suatu hari, ada satu titik kita mengenang dan jatuh cinta, membuatmu tertawa bagaimana aku dan kamu berjuang. Langit masih menantangku, ia getarkan tebing yang merayap ke telapak kakiku.

Kakiku bergetar, aku banting cawan hijau bundar itu. Aku memeluk erat dadaku yang sesak karena rindu yang sia-sia. Cemburu menderu-deru. Dan seluruh tubuhku bergetar menangis diam. Tidak aku teteskan buih yang ingin kau lihat di sana, tiga puluh tahun aku menunggu rasanya masih tidak akan cukup. Aku masih bertahan kepada secercah surga yang kamu janjikan, orang mati yang aku cintai. Aku memungut dan mencarimu, aku bicarakan kamu kepada Tuhan, aku lakukan semua yang ada di benakmu. 

Semua orang memberi jodoh kepadaku, semacam cinta yang menyerupaimu. Mereka berlomba mencari perasaanku. Mereka mencari-cari bagaimana aku. Tapi waktuku belum selesai, selama aku belum tahu apakah kita ……..

1 komentar:

Makanan Dahsyat mengatakan...

baguuuuuuuuuuuussssssss