Tadi
sore di pinggir sebuah aliran air, di tepian kabut yang hening.
Aku
mendapatkan sebuah puisi. Yang merinai di dinding kepalaku, begitu syahdu
mengenang seseorang. Dipeluk angin yang melembut, aku tersipu menyadari betapa
puisi itu menggelayut mesra dan tidak kunjung padam.Puisi
itu semacam epilog. Dia nyata dan mengharapkan kenyataan.
Meski tidak
sedikitpun kemudian hadir, rinai-rinai dialog penutup yang muncul seperti yang
diharapkan.
Tapi
sepertinya memang bukan soal cinta. Aku mengaliri puisi itu dengan kehidupan
yang dia harapkan. Dan aku sementara ini hidup karenanya.
Epilog
itu semu. Hingga saat ini aku ingin membukanya kembali, tapi memang lebih baik biar
saja tertutup.
0 komentar:
Posting Komentar