Jumat, 28 Desember 2012

Epilog palsu.



Tadi sore di pinggir sebuah aliran air, di tepian kabut yang hening. 

Aku mendapatkan sebuah puisi. Yang merinai di dinding kepalaku, begitu syahdu mengenang seseorang. Dipeluk angin yang melembut, aku tersipu menyadari betapa puisi itu menggelayut mesra dan tidak kunjung padam.Puisi itu semacam epilog. Dia nyata dan mengharapkan kenyataan.  

Meski tidak sedikitpun kemudian hadir, rinai-rinai dialog penutup yang muncul seperti yang diharapkan.

Tapi sepertinya memang bukan soal cinta. Aku mengaliri puisi itu dengan kehidupan yang dia harapkan. Dan aku sementara ini hidup karenanya. 

Epilog itu semu. Hingga saat ini aku ingin membukanya kembali, tapi memang lebih baik biar saja tertutup.

  

0 komentar: