Aku
merangkak naik ke ranjang, tubuhku biru-biru mengerang. Dan di luar sana
terdengar teriakan wanita kolot yang tak henti menyiksaku kian usiaku saat ini.
Ia menggedor pintu kamarku dengan suaranya yang nyaring dan menakutkan.
Matahari
pagi-pagi mulai mengintip dari sudut jendela di sudut ruangan, aku masih
terkapar biru-biru dan menangis. Aku belum lagi tertidur sekalipun pintu sudah
lengang dari satu jam yang lalu..
Aku
berdiri, menarik kertas.. Aku tinggalkan ia surat.
“Satu-satunya
wanita yang paling aku cintai itu Engkau. Satu-satunya wanita yang menelurkan
aku dari sebuah lubang sempit, memberikan dadanya selama dua tahun, dan tak
sedetikpun meninggalkan aku.
Satu-satunya
harapanku mengenai dunia adalah Engkau, melihat betapa bahagianya ketika aku
berikan seluruh dunia ini kepadaMu.
Satu-satunya yang
aku pikirkan di ujung dunia sekalipun adalah Engkau, melihat Tuhan memberikan
matahari di ujung samudera, hangat dan besar seperti Engkau yang selalu
membuatku merasa nyaman di seluruh dunia.
Bu, waktuku hanya
Tuhan yang tahu. Aku di dalam perjalanan menemui hidupku sendiri. Setiap jalan
yang aku cari bukan lagi Engkau yang tentukan. Aku beragama pun atau tidak,
sudah tidak seharusnya Engkau urusi aku. Aku manusia yang Engkau lahirkan sejak
lama, betapa tidak sedikitpunnya Engkau sekarang mengerti betapa Aku ingin
terlepas dari segalanya tentangMu. Mengapa tidak sedikitpun anakmu ini
melangkah sedikit lebih jauh tanpa kau sentuh, Indukku?
Aku terpaut jauh
darimu. Segalanya hari ini sudah tiada lagi seperti dulu ketika segala
peraturanmu melekat di kepalaku. Tidakkah kau lihat Ibu, hari ini sudah
zamannya laki-laki memotong alat kelaminnya sendiri untuk bisa terlihat seperti
kita. Tidakkah Engkau jera menganggap aku lemah?
Tidakkah aku
terlihat baik-baik saja ketika aku menabahkan hatiku, hatimu, hati saudaraku
melihat lelakimu pergi dengan pelacur berpantat besar yang seronok itu?
Tidakkah kau lihat betapa aku dengan tenangnya menganggap semua baik-baik saja
ketika kalian yang selalu diam kemudian mengumpat di hadapan kami? Tidakkah Kau
lihat betapa hatiku penuh dengan jahitan-jahitan jerit tangismu yang selalu
membantah apa yang aku bicarakan? Aku sudah bicara berkali-kalinya. Tidakkah
kau bisa, hilang, dan diam untuk sementara dalam hidupku.. aku ingin mati
mengingatmu. Betapa aku mencintaimu, dan tidak bisa sedikitpun aku melerai kita
berdua.
Jadi hari ini aku
akan pergi. Menabahkan hatiku sendiri berpisah dengan kekasih hatiku, berpisah
dari berkah Yang Maha Kuasa untukku, berkah yang paling sempurna.. entah apa
yang merubahmu Bu. Ego kita tak lagi satu, aku meninggalkanmu demi hidup yang
normal seperti manusia lainnya. Aku mendoakanmu sepanjang waktu. Di setiap hela
hidupku. Lekas kembali Bu, kembali memanusia..”
Matahari
semakin hangat memelukku dari balik jendela. Air-air samudera di luar sana
terdengar bergemuruh, tebing-tebing sekitarnya dibelai-belai agar meluruhkan
semua rasa tegarnya.. aku menatap kaca, mengorek mataku dengan pinsil coklat
agar terlihat hidup dan mengalihkan bengkaknya. Menyisir rambutku yang kaku,
membenahi pakaianku yang compang camping.. dan melewati batas jendela.
Menyambut air laut yang marah di pagi hari, memeluk matahari.
Aku,
seorang pelacur kelas kakap, seorang pecandu ekstasi, seorang pembunuh lelaki
penjaga hotel yang tidak melunasi hutangnya padaku.. Sekaligus pembunuh hati Ibuku. Hati Ibuku
yang tinggal sekeping, hati Ibuku yang sekeras batu, hati Ibu yang selalu ingin
memiliki dan memaksaku. Menjual semua yang ada di diriku. Menjual semua
peraturannya. Hari ini, berhasil meninggalkannya.
0 komentar:
Posting Komentar