Kamis, 06 September 2012

Surat.


Aku merangkak naik ke ranjang, tubuhku biru-biru mengerang. Dan di luar sana terdengar teriakan wanita kolot yang tak henti menyiksaku kian usiaku saat ini. Ia menggedor pintu kamarku dengan suaranya yang nyaring dan menakutkan.
Matahari pagi-pagi mulai mengintip dari sudut jendela di sudut ruangan, aku masih terkapar biru-biru dan menangis. Aku belum lagi tertidur sekalipun pintu sudah lengang dari satu jam yang lalu..
Aku berdiri, menarik kertas.. Aku tinggalkan ia surat.
“Satu-satunya wanita yang paling aku cintai itu Engkau. Satu-satunya wanita yang menelurkan aku dari sebuah lubang sempit, memberikan dadanya selama dua tahun, dan tak sedetikpun meninggalkan aku.
Satu-satunya harapanku mengenai dunia adalah Engkau, melihat betapa bahagianya ketika aku berikan seluruh dunia ini kepadaMu.
Satu-satunya yang aku pikirkan di ujung dunia sekalipun adalah Engkau, melihat Tuhan memberikan matahari di ujung samudera, hangat dan besar seperti Engkau yang selalu membuatku merasa nyaman di seluruh dunia.
Bu, waktuku hanya Tuhan yang tahu. Aku di dalam perjalanan menemui hidupku sendiri. Setiap jalan yang aku cari bukan lagi Engkau yang tentukan. Aku beragama pun atau tidak, sudah tidak seharusnya Engkau urusi aku. Aku manusia yang Engkau lahirkan sejak lama, betapa tidak sedikitpunnya Engkau sekarang mengerti betapa Aku ingin terlepas dari segalanya tentangMu. Mengapa tidak sedikitpun anakmu ini melangkah sedikit lebih jauh tanpa kau sentuh, Indukku?
Aku terpaut jauh darimu. Segalanya hari ini sudah tiada lagi seperti dulu ketika segala peraturanmu melekat di kepalaku. Tidakkah kau lihat Ibu, hari ini sudah zamannya laki-laki memotong alat kelaminnya sendiri untuk bisa terlihat seperti kita. Tidakkah Engkau jera menganggap aku lemah?
Tidakkah aku terlihat baik-baik saja ketika aku menabahkan hatiku, hatimu, hati saudaraku melihat lelakimu pergi dengan pelacur berpantat besar yang seronok itu? Tidakkah kau lihat betapa aku dengan tenangnya menganggap semua baik-baik saja ketika kalian yang selalu diam kemudian mengumpat di hadapan kami? Tidakkah Kau lihat betapa hatiku penuh dengan jahitan-jahitan jerit tangismu yang selalu membantah apa yang aku bicarakan? Aku sudah bicara berkali-kalinya. Tidakkah kau bisa, hilang, dan diam untuk sementara dalam hidupku.. aku ingin mati mengingatmu. Betapa aku mencintaimu, dan tidak bisa sedikitpun aku melerai kita berdua.
Jadi hari ini aku akan pergi. Menabahkan hatiku sendiri berpisah dengan kekasih hatiku, berpisah dari berkah Yang Maha Kuasa untukku, berkah yang paling sempurna.. entah apa yang merubahmu Bu. Ego kita tak lagi satu, aku meninggalkanmu demi hidup yang normal seperti manusia lainnya. Aku mendoakanmu sepanjang waktu. Di setiap hela hidupku. Lekas kembali Bu, kembali memanusia..”
Matahari semakin hangat memelukku dari balik jendela. Air-air samudera di luar sana terdengar bergemuruh, tebing-tebing sekitarnya dibelai-belai agar meluruhkan semua rasa tegarnya.. aku menatap kaca, mengorek mataku dengan pinsil coklat agar terlihat hidup dan mengalihkan bengkaknya. Menyisir rambutku yang kaku, membenahi pakaianku yang compang camping.. dan melewati batas jendela. Menyambut air laut yang marah di pagi hari, memeluk matahari.
Aku, seorang pelacur kelas kakap, seorang pecandu ekstasi, seorang pembunuh lelaki penjaga hotel yang tidak melunasi hutangnya padaku..  Sekaligus pembunuh hati Ibuku. Hati Ibuku yang tinggal sekeping, hati Ibuku yang sekeras batu, hati Ibu yang selalu ingin memiliki dan memaksaku. Menjual semua yang ada di diriku. Menjual semua peraturannya. Hari ini, berhasil meninggalkannya.

0 komentar: