Soal
buku, Saya suka membaca, tapi cenderung lebih sering membaca novel-novel
klasik, sastra, dan anti terjemahan. Saya suka baca majalah, artikel, bahkan
timeline orang lain. Sebenernya saya tipikal manusia klasik yang awam sama yang
namanya novel remaja percintaan macem teenlit, sekalipun iya sih dulu waktu SMP
saya rajin baca Dealova dan semacemnya karena di perpus sekolah saya yang gaul
dulu updatenya buku begituan. Saya juga ngga begitu sering membaca fiksi
fantasi modern yang belakangan ini lebih frontal bahasa kekasih-kasihannya,
saya ngga begitu suka membaca novel-novel lawakan atau non lawakan yang asalnya
dari kumpulan Tweet. Saya ngga suka baca buku soal pemerintahan, ekonomi,
matematika, dan sebagainya. Sekalipun
saya mencintai sejarah dan apapun di dalamnya.
Tapi
kebetulan, dari study visit kemarin bareng satu angkatan Komunikasi 2010 ke
Jakarta. Kita kunjungan ke beberapa televisi swasta dan beberapa acara, salah
satunya acara keren favorit saya, Kick
Andy. Saya berhasil mendapatkan satu buah buku dan pembahasannya di dalam
acara. “Nasihat untuk SBY” oleh Adnan Buyung Nasution.
Selama
acara, saya cengo’ aja selain stress
bego kedinginan sama Icha dan Ambar karna di studio suhunya saya bayangkan 1
derajat celcius, bahaha. Tapi untungnya jadi hangat di awal karna ada ada Mas
Awan G(emes) dan bandnya G.Pluck di acara tersebut, ya paling ngga nahan saya
untuk lebih lama mengenal talk show yang bikin saya kecewa di awal, karena tau
guess starnya adalah tokoh politik. Jadilah saya seadanya menyimak, kemudian
menyimak.. dan acara jadi ngga terlalu berat karna Andy F. Noya ini cerdas
banget membawa obrolan jadi simak-able dan jadi kocak. Perlahan saya mengerti
apa perbincangan bapak-bapak di depan, yang intinya membicarakan sebuah buku
yang baru Pak ABN tulis. Kesan pertama saya, “wah ini orang semacem songong apa
ember apa jahat, kok ya rahasia dibongkar-bongkar..”
Tapi,
belakangan saya tau mengapa ABN begitu berapi-apinya tampil di depan public
dengan sebuah buku controversialnya. Setelah secara umum dibahas isi bukunya
dengan jelas, di akhir acara saya mencoba mengerti dan memaafkan ABN, haha. Ya
paling ngga sebagai masyarakat, saya akhirnya tau apa yang disampaikan beliau.
Setelah
seminggu lewat, saya selesaikan bukunya dalam dua hari. Saya membaca separuh
penuh isi buku yang menurut saya memang menarik saja, meninjau isi bukunya ya
emang ‘politik banget’. Ada beberapa isu-isu sosial yang menarik di dalam buku
yang saya baca serasa anak SMA mau ujian KWN besoknya, bener-bener banget saya pahami.
Penjabaran yang dilakukan ABN di dalam bukunya bener-bener detail, lewat
dialog, bahasa yang cerdas, dan memberi kesan tajam tapi jujur. Buku ini yang
jelas bercerita mengenai pengalaman ABN sebagai Anggota Dewan Pertimbangan
Presiden Bidang Hukum (2007-2009). Dari sini kita melihat pola pikir beliau
masuk ke dalam birokrat pemimpin sebuah Negara yang disamakan dengan kapal yang
akan karam. Sebenernya, ABN ini harusnya hanya cenderung ke bidang hukum saja, tapi
kepedulian mengenai agama, sosial, bahkan pornografi yang beliau urus dan
ditulis di bukunya, benar-benar menunjukkan keahliannya sebagai seorang tokoh
yang terpandang di dunianya.
Di
buku ini ABN banyak bercerita, misalnya sebagai orang yang awam mengenai
politik pemerintah saya melihat bagaimana sikap para menteri yang digambarkan buku
ini yang sikapnya justru tidak bersikap kritis dan masih mengikuti cara feodal
yang kaku dalam rapat. Ternyata ngga cuma seminar mahasiswa yang jarang
partisipan, di buku ini dibilang para menteri pun jarang ada suaranya. Itu
satu, ABN mengungkap dalam buku ini mengenai satu kondisi yang masyarakatpun
sebenernya harus ngerti gimana kinerja pemerintahnya. Selain itu, ABN
menuliskan bagaimana Pak Presiden sebagai tanggung jawabnya memberi sikap terhadap
berbagai pendapatnya mengenai beragam masalah, Pak Presiden yang dianggap
kurang perhatian dan kadang cenderung berkepentingan terhadap kelompok
elit saja. ABN ini terlihat dalam
tulisannya adalah sosok yang dominan dan memperjuangkan apa yang beliau anggap
benar, tapi ya pasti dengan dukungan data yang selalu beliau jabarkan menyertai
pendapatnya. Dan voilanya memang sangat realistis, membacanya juga ngga terlalu
rumit menurut saya karena dengan adanya fakta berupa dialog atau penjabaran
kronologi jadi semangat pengen tau selanjutnya. Buku ini dengan sangat jelas
tokoh-tokoh di dalamnya tanpa nama samaran dan rekayasa. Jadinya seru. Haha.
Dalam
konteks konsisten, memang ABN adalah sosok yang satu tujuan dan berkemauan
keras. Tapi ya karena dominasi tersebut, beliau jadi cenderung selalu
menjabarkan kekecewaannya kepada Pak Presiden karena ngga didenger pendapatnya.
Jadi kesannya Pak Presiden salah melulu. Kalo menurut saya setelah baca buku
ini, ya emang salah kalo Pak Presiden membentuk Wantimpres tapi ngga digunakan
dengan baik, ngga ada komunikasi yang baik dan rutin, ya percuma dong.
Ibaratnya punya pembantu tapi ngapa-ngapain sendiri. Cuma, menanggapi
kekecewaan ABN menurut saya ya sometime
wajar-wajar aja kalo orang mau mengambil
keputusannya sendiri, terlebih orang tersebut memang punya kuasa. ABN
mengajarkan pembacanya buat jadi kritis dan bertindak cepat, tapi kadang saya
suka mbatin “Apaan sih” kalo baca bagian ABN yang marah-marah melulu minta
didengerin. Trus mengenai kritis-kritis itu, sayangnya di Negara kita sendiri
masih jarang ada generasi yang secara keseluruhan semuanya mudah bicara dan
berani jujur seperti yang diharapkan ABN, sesuai sama sistem feodal yang masih
berlangsung dimana-mana sampai sekarang ini makin susah bikin orang jadi lebih
partisipatif misalnya. Apalagi kalo ada duit. Toh lingkungan sekitar juga ngga
mendukung, soalnya, sifat nrimo’ dan
anteng masih menjadi titik aman dan nyaman paling utama. Dan kadang sempet ada
pikiran, toh kalo semua bicara, apa iya menjamin keadaan jadi lebih dan semakin
baik? Bukannya malah jadi membesarkan ego masing-masing, toh lagi semua jadi
mengutamakan subjektifitas pemikiran masing-masing kan? Nanti kalo begitu
jadinya, kita harus mendengar siapa?
Mungkin
buku kaya begini udah banyak, tapi karena ini buku tokoh politik pertama saya dan
saya baca sampe ngerti jadi saya kira menulis kesan saya seperti ini ya.. saya
pikir menyenangkan. Banyak cerita yang sesuai tujuan ABN menulis buku ini tersampaikan
dengan baik, yang tadinya ngga tau sebagai warga Negara akhirnya saya tau.
Mengenai ahmadiyah yang begitu bijak diuraikan ABN, mengenai berbagai UU. Ya
emang kadang tulisan di dalam buku ini mencerminan arogansi dan unsur
melebih-lebihkan sebuah masalah misalnya waktu dibahas SBY membuat Perpu trus
dibilang otoriter, padahal Perpu dadakan itu adalah wewenang Pak Presiden, ABN
mengamuk karna merasa dilangkahi, tapi setelah itu dengan mudahnya ABN
mengatakan ia tidak mempermasalahkannya lagi. Ya gimana ya. Mungkin itu salah
satu trik mengisi buku ini. Hak orang juga ya.
Buku
ini emang unik sih. ABN sangat menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan
Pers dan dukungannya kepada media. ABN begitu mendewakan demokrasi di sebuah
Negara yang masih jauh mengenai hal itu sendiri. Emang sih sebagian udah tau
soal apa itu de-mo-kra-si tapi kalo ditinjau bagaimana kondisi sejarahnya kita
memang belum terlalu dekat dari demokrasi itu sendiri. Pemikiran masyarakat
sekarang salah kotak, contoh nyata FPI. Orang-orang hebat seperti ABN masih dianggap
kontroversional, males dideketin kalo bahasa pertemanan di sekolah. Bahasa
gampangnya:males nyari masalah. Pemikiran beliau bagus banget kalo bisa
diterapin di Negara kita, asal nanti kita dewasa punya asas tersendiri mengatur
kebebasan tersebut..
Bagi
yang suka politik-politikan dan membaca. Saya rasa pasti jadi salah satu
referensi yang lumayan untuk dibaca buku ini.
0 komentar:
Posting Komentar