Kalo
saya katakan seberapa besar cinta saya terhadap buku-buku sastra, saya akan
menyamakan levelnya dengan betapa saya mencintai film-film di dunia ini. Sekalipun
tetep lebih kenyang membaca sastra semacam roman fiksi yang bahasanya entah
kemana-mana. Ketika saya membaca sastra, seketika fantasi itu seperti terwujud
dengan begitu nyata.
Merunut
beberapa posting mengenai hasrat membaca yang di alam goib, finally saya bisa
juga nyelesain tetralogi Pulau Buru karya Dewa Pramoedya Ananta Toer. Trus? Oh ya
ini semacam gila.
Saya
ngga peduli sih dibilang lebai dan semacemnya, kalo ternyata emang cuma saya
yang nangis baca novel semacem ini karna terkagum-kagum..dalam tempo 6 bulan di
sela semua ke(sok)sibukan saya dan passionless dalam membaca, dan keterbatasan
cari pinjaman sana-sini, yap akhirnya selesai juga.
Hmm..
gimana yah. Semiotiknya banyak banget coy, tapi saya ngga bisa diem setelah
baca karya maha dasyat ini. 2 bulan yang lalu sebelum hp keformat saya selalu
mencatat setiap quote dari buku pertama sampai ketiga, sayangnya oh.. Rumah
Kaca adalah semiotik mengenai Pangemanann sebagai tokoh utama di buku satu ini
untuk menceritakan Minke yang juga sang tokoh utama dari buku-buku sebelumnya,
Rumah Kaca menunjuk kepada pribadi Pangemanann dengan rahasianya, rumah kaca
itu menunjukkan satu hal yang terlihat tenang dan damai di luar dan membiarkan
segalanya tumbuh di dalam dengan liar. Hal itu dipendam Pangemanann dengan
masalah-masalahnya yang tumbuh dengan baik terjaga oleh sang Rumah Kaca. Dalam
4 karya buku ini, sampai di buku ke-3 saya masih mengaggumi gaya bahasa Pram
yang khas dengan segala senandung wejangan yang terselip di antara paparan
sejarah yang terbungkus indah melalui sastra yang santun dan berbudaya. Dan di
ujung buku, terpaparlah who the hell is Raden Mas Minke. Mungkin orang yang
kepo, bisa langsung googling siapa beliau dan buku-buku jahanam ini..
Saya
juga ngga habis pikir kenapa saya bisa sempet nangis. Pram semacam diciptakan
sebagai mesin waktu dan mesin cetak yang sempurna, dia seperti sudah sadar
mengenai semua relung kehidupan manusia dan buminya. Saya rasa Pram tau
bagaimana bentuknya surga dan neraka kelak, Rest In Peace, Pak.
Dan,
si Minke ini sebagai tiang berdirinya kebebasan di bumi Indonesia ini, sebagai
pelopor surat kabar dan sumber informasi manusia, sebagai satu-satunya manusia
pada masa itu yang melepas dirinya dari ilusi Jawa yang dibanggakan semua umat,
kemudian pada akhir hidupnya hanya hilang sia-sia terlupakan karena kekuatan
koloni. Raden Mas Minke, dengan kesederhanaannya, membuat cerita yang baik
mengenai dirinya sendiri dan bangsanya, dengan keterbatasan dan
keberuntungannya dia mengelola semua pikirannya menjadi bekal perjuangannya
sebagai manusia yang mendambakan kebebasan. Dari awal cerita, Minke digambarkan
sebagai sosok yang biasa, masalah demi masalah mendidiknya menjadi sosok yang
kebal. Sebagai sosok yang cerdas dan dielu-elukan masyarakat, Minke memiliki
fase sebagai manusia normal, jatuh cinta hanya dengan pesona wajah yang molek,
mengalami masa galau dan bimbang, takut, dan sebagainya, yang menunjukkan
terbentuknya seorang yang luar biasa seperti dirinya, tidak diperlukan menjadi
bayi ajaib dengan sejuta keberuntungan dan tanpa kegagalan. Manusia memiliki
kesempatan, kesempatan itu sama rata Tuhan berikan. Semua yang diinginkan
tercapai, manusia mana yang tidak merasa hidupnya sudah sempurna.. tapi ketika
sempurna berpaling dan sesuatu yang
terbiasa dengan kesempurnaan menjadi layu, walaupun hanya sementara.. dan
menjadi layu, mematikan semua benih-benih hasrat lainnya untuk menjadi sempurna
seperti sedia kalanya. Setelah diasingkan dan mematikan semua pikiran dan
keinginannya, Minke begitu layu mengahadapi masa lalu yang ia hadapi, ia mati
dalam kelemasan, tak berdaya, dan dilupakan manusia-manusia sekitarnya yang ia
perjuangkan.
Saya?
Miris, saya netes air mata nggak tau kenapa. Mungkin masih terhanyut, rasanya
seperti baca Me vs High Heels zaman SMP dulu,
zaman-dramatis-terlalu-mendalami-novel-karna-ga-ada-hiburan-lain-selain-novel-dan-friendster.
Sebagai masyarakat informasi, manusia yang bekerja setiap hari ketemu teknologi
informasi, saya merasa sangat ketinggalan zaman betapa saya ngga tau pelopor
dari koran-koran selama ini. Waktu ngga sengaja nganter Prita Ocha kemaren, ke
Monumen Pers di Solo, saya sempet liat bagaimana rupa beliau, Raden Mas Minke
dengan Medan-nya berjaya, tapi saya belum tau beliau itu Minke dalam tetralogi.
Rasanya pengen cepet pulang ke Solo dan ke MonumPers lagi sekaligus liat Koran
aslinya di ruang penyimpanan. Betapa saya kangen dan pengen ngeliat beliau
lagi.. sekalipun konon makamnya ada di Karet.. tapi mungkin akan aneh aja kalo
ziarah sendiri kan ._.
Saya
bersyukur Tuhan mengembalikan benih-benih nasionalisme paling ngga bersemi
lagi, setelah sebagian besar pudar karena terlalu sering liat pejabat kpk rusuh
di tv dan terlalu sering liat Trending Topic gak penting pake bahasa Indonesia
di Twitter. Menjadi Minke selanjutnya bukan hal
yang mudah, mungkin cenderung mustahil, seperti mengharapkan Surapati
selanjutnya.. menjadi seperti Pram? Ya masih berharap sih. Tapi menurut saya sosok-sosok
seperti mereka mungkin hanya Tuhan ciptakan the one and only seperti kamu #eaa
Minke
dan Pram adalah manusia-manusia yang baik dalam hal inspirasi, buku-buku ini
kaya akan informasi dan inspirasi:Tetralogi Buru, Bumi Manusia, Anak Semua
Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca. Dan sekarang saya ngerti oh karena ini
bukunya dicetak dalam segala bahasa di dunia.. RIP Fathers, saya bangga jadi
bangsa Indonesia karena kalian..
0 komentar:
Posting Komentar