Kamis, 06 September 2012

Rumah Kaca, The Last Buru's Series




Kalo saya katakan seberapa besar cinta saya terhadap buku-buku sastra, saya akan menyamakan levelnya dengan betapa saya mencintai film-film di dunia ini. Sekalipun tetep lebih kenyang membaca sastra semacam roman fiksi yang bahasanya entah kemana-mana. Ketika saya membaca sastra, seketika fantasi itu seperti terwujud dengan begitu nyata.
Merunut beberapa posting mengenai hasrat membaca yang di alam goib, finally saya bisa juga nyelesain tetralogi Pulau Buru karya Dewa Pramoedya Ananta Toer. Trus? Oh ya ini semacam gila.
Saya ngga peduli sih dibilang lebai dan semacemnya, kalo ternyata emang cuma saya yang nangis baca novel semacem ini karna terkagum-kagum..dalam tempo 6 bulan di sela semua ke(sok)sibukan saya dan passionless dalam membaca, dan keterbatasan cari pinjaman sana-sini, yap akhirnya selesai juga.
Hmm.. gimana yah. Semiotiknya banyak banget coy, tapi saya ngga bisa diem setelah baca karya maha dasyat ini. 2 bulan yang lalu sebelum hp keformat saya selalu mencatat setiap quote dari buku pertama sampai ketiga, sayangnya oh.. Rumah Kaca adalah semiotik mengenai Pangemanann sebagai tokoh utama di buku satu ini untuk menceritakan Minke yang juga sang tokoh utama dari buku-buku sebelumnya, Rumah Kaca menunjuk kepada pribadi Pangemanann dengan rahasianya, rumah kaca itu menunjukkan satu hal yang terlihat tenang dan damai di luar dan membiarkan segalanya tumbuh di dalam dengan liar. Hal itu dipendam Pangemanann dengan masalah-masalahnya yang tumbuh dengan baik terjaga oleh sang Rumah Kaca. Dalam 4 karya buku ini, sampai di buku ke-3 saya masih mengaggumi gaya bahasa Pram yang khas dengan segala senandung wejangan yang terselip di antara paparan sejarah yang terbungkus indah melalui sastra yang santun dan berbudaya. Dan di ujung buku, terpaparlah who the hell is Raden Mas Minke. Mungkin orang yang kepo, bisa langsung googling siapa beliau dan buku-buku jahanam ini..
Saya juga ngga habis pikir kenapa saya bisa sempet nangis. Pram semacam diciptakan sebagai mesin waktu dan mesin cetak yang sempurna, dia seperti sudah sadar mengenai semua relung kehidupan manusia dan buminya. Saya rasa Pram tau bagaimana bentuknya surga dan neraka kelak, Rest In Peace, Pak.
Dan, si Minke ini sebagai tiang berdirinya kebebasan di bumi Indonesia ini, sebagai pelopor surat kabar dan sumber informasi manusia, sebagai satu-satunya manusia pada masa itu yang melepas dirinya dari ilusi Jawa yang dibanggakan semua umat, kemudian pada akhir hidupnya hanya hilang sia-sia terlupakan karena kekuatan koloni. Raden Mas Minke, dengan kesederhanaannya, membuat cerita yang baik mengenai dirinya sendiri dan bangsanya, dengan keterbatasan dan keberuntungannya dia mengelola semua pikirannya menjadi bekal perjuangannya sebagai manusia yang mendambakan kebebasan. Dari awal cerita, Minke digambarkan sebagai sosok yang biasa, masalah demi masalah mendidiknya menjadi sosok yang kebal. Sebagai sosok yang cerdas dan dielu-elukan masyarakat, Minke memiliki fase sebagai manusia normal, jatuh cinta hanya dengan pesona wajah yang molek, mengalami masa galau dan bimbang, takut, dan sebagainya, yang menunjukkan terbentuknya seorang yang luar biasa seperti dirinya, tidak diperlukan menjadi bayi ajaib dengan sejuta keberuntungan dan tanpa kegagalan. Manusia memiliki kesempatan, kesempatan itu sama rata Tuhan berikan. Semua yang diinginkan tercapai, manusia mana yang tidak merasa hidupnya sudah sempurna.. tapi ketika sempurna  berpaling dan sesuatu yang terbiasa dengan kesempurnaan menjadi layu, walaupun hanya sementara.. dan menjadi layu, mematikan semua benih-benih hasrat lainnya untuk menjadi sempurna seperti sedia kalanya. Setelah diasingkan dan mematikan semua pikiran dan keinginannya, Minke begitu layu mengahadapi masa lalu yang ia hadapi, ia mati dalam kelemasan, tak berdaya, dan dilupakan manusia-manusia sekitarnya yang ia perjuangkan.
Saya? Miris, saya netes air mata nggak tau kenapa. Mungkin masih terhanyut, rasanya seperti baca Me vs High Heels zaman SMP dulu, zaman-dramatis-terlalu-mendalami-novel-karna-ga-ada-hiburan-lain-selain-novel-dan-friendster. Sebagai masyarakat informasi, manusia yang bekerja setiap hari ketemu teknologi informasi, saya merasa sangat ketinggalan zaman betapa saya ngga tau pelopor dari koran-koran selama ini. Waktu ngga sengaja nganter Prita Ocha kemaren, ke Monumen Pers di Solo, saya sempet liat bagaimana rupa beliau, Raden Mas Minke dengan Medan-nya berjaya, tapi saya belum tau beliau itu Minke dalam tetralogi. Rasanya pengen cepet pulang ke Solo dan ke MonumPers lagi sekaligus liat Koran aslinya di ruang penyimpanan. Betapa saya kangen dan pengen ngeliat beliau lagi.. sekalipun konon makamnya ada di Karet.. tapi mungkin akan aneh aja kalo ziarah sendiri kan ._.
Saya bersyukur Tuhan mengembalikan benih-benih nasionalisme paling ngga bersemi lagi, setelah sebagian besar pudar karena terlalu sering liat pejabat kpk rusuh di tv dan terlalu sering liat Trending Topic gak penting pake bahasa Indonesia di Twitter. Menjadi Minke selanjutnya bukan hal  yang mudah, mungkin cenderung mustahil, seperti mengharapkan Surapati selanjutnya.. menjadi seperti Pram? Ya masih berharap sih. Tapi menurut saya sosok-sosok seperti mereka mungkin hanya Tuhan ciptakan the one and only seperti kamu #eaa  

Minke dan Pram adalah manusia-manusia yang baik dalam hal inspirasi, buku-buku ini kaya akan informasi dan inspirasi:Tetralogi Buru, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca. Dan sekarang saya ngerti oh karena ini bukunya dicetak dalam segala bahasa di dunia.. RIP Fathers, saya bangga jadi bangsa Indonesia karena kalian..

0 komentar: