Sabtu, 11 April 2015

Filosofi Kopi.




Melihat jalan-jalan yang layu dipijak dan begitu kesepian. Sementara dengung debu yang tanpa henti menyeruak isi kepala. Berputar-putar dengan nada riang. Mencari-cari apa yang hatinya sedang butuhkan..
Seperti etalase yang sendu. Kosong namun tetap penuh harapan kepada pelanggan-pelanggan yang murung melewatinya. Pohon baru yang ditanam di tengah kota begitu malas untuk menegakkan batang-batangnya. Tertidur menggapai tanah. Daun-daun yang rontok di kakinya, merenggas dan gosong dimakan jalanan.. dan angin musim panas perlahan kemudian datang..

Lampu kota menyala di siang bolong, melawan terik sang matari yang jenuh bersinar.. kulit-kulit dari gedung tua di sudut jalan terbang kian kemari, menua dan usang. Sehingga yang melihatnya, penuh haru dan heran apa yang ada di dalamnya, masih begitu kukuh dengan kisah-kisah yang terlahir di dalamnya.
Dalam secangkir kopi di tengah kedai yang begitu sepi menyayat hati. Diiringi deru kipas angin yang termakan debu. Pinggiran roti yang ditinggalkan. Tercelup basah, seperti sepatu hitam yang kukenakan, kuyup mengenaskan terkena cipratan sedan-sedan yang melaju kencang ketika aku menyusuri trotoarnya.


Secangkir kopi di hadapanku tak berhenti memanggil agar aku tak henti menghirup aromanya. Mengagumi butiran-butiran hitam yang berbekas di sudut bibirku. Rasanya manis seperti coklat, yang barangkali orang-orang bilang rasanya pahit seperti hidup. Panas. Membekas. Dan begitu nikmat ketika menyentuh lorong-lorong kerongkongan, menjalar ke kepala. Membangunkan yang mati. Dan membuat kita mencari-cari apa yang kita ingin rasakan padanya. Kopi yang menjadikan seorang menjadi begitu perasa.
Seperti yang aku saksikan. Jiwa-jiwa yang sendu. Yang lelah dengan fakta bahwa betapa jauhnya kita sudah berjalan di bumi yang tua ini.


Disuguhkan puing-puing sisaan zaman yang menyedihkan, namun mau tak mau harus ditelan. Semua orang saat ini begitu menyedihkan. Tidak mampu tapi dijalankan. Tidak pantas tapi ingin diakui. Punya kuasa namun menghabisi. Didengarkan tapi tak sanggup mendengar.
Kenapa tidak semua orang menjadi secangkir kopi panas yang dipenuhi susu saja? Membagi dirinya untuk yang lain. Seperti seisi kota yang terisi dengan meriah, tidak terpisah. Menjadi satu hal yang dicintai banyak orang, tanpa harus menunjukkan jiwa yang lemah, tua, dan kesepian. Semua orang ingin memilikinya, tanpa harus menunjukkan banyak hal.
Hidup begitu mudah dijalankan ketika kita benar merasakan apa yang didalamnya. Tidak sebatas pada hirupan pertama. Tidak berdasarkan sekelebat aroma. Tapi ketika kita benar meletakkannya pada sumber-sumber perasa dan mengenali betul bagaimana rupanya. Dan bagaimana kita menjalankannya. Hidup yang penuh candu, manis sekaligus pahit. Hidup adalah bagaimana kita menenangkan waktu yang menjalarinya, yang menuntutnya menjadi habis.. namun tertahan kuat dan menunjukkan utuh isinya.. berpacu dengan waktu seperti menahan ektraksi kopi. Hidup bertahan untuk tetap mengisi dan terisi.. supaya tidak diacuhkan. Hidup seharusnya berhati-hati, berantisipasi. Seperti ketika kita memburu gelas kopi yang panas.
Gelas kopi yang bergaris-garis. Meninggalkan bekas-bekas batas yang aku hirup. Saat ini aku menikmati filosofi kopi ku sendiri.

0 komentar: