Minggu, 10 Juli 2011

Mati suri di taman- Sore

Ada yang aneh di sebuah sudut mataku.
Wanita yang menelanjangi mataku, matanya deras, dan disambar deru air sungai di belakangnya. Ia terpaku di belakang batu..
Wanita bercermin lewat air yang melaluinya..
Air membelainya hangat-hangat dan wanita menjatuhkan lengan-lengannya kepada langit
Ia mengadah kepada Tuhan yang ia anggap ada..
Ia berlindung pada tiupan angin yang menusuknya dalam-dalam

Wanita itu adalah aku, sebuah roman ciptaan Tuhan. Ia membuka dirinya kepada alam dan berharap satu hal mengikatnya lekat-lekat tanpa ia harus membelikannya sebotol perekat. Wanita itu hampir mati dideru kelam pikirannya, ia mendesah penuh harapan. Ia hanya ingin melewati perasaan dan waktu yang samakin hari menyiksanya.. Ia mencari dunia. Ia mati di tengah perjalanan.

“Tolong, ada yang ingin aku bicarakan. Tidakkah engkau berkasihan kepada hidupku yang telah layu. Aku akan menyusul Tuhan kali ini, menyusul mata-mata yang telah melewati kita semua, tolong berikan mauku..”

“Mau apa?”

“Mau cinta, Tuan. Waktuku akan segera habis, matari akan merenggutku dengan sinarnya. Aku akan merinai seiring suara-suara dunia yang meninggi dan menjemputku esok hari. Aku hanya ingin menjadi cinta, bagi siapapun, dan mati tanpa harus merasa bersalah kepada apapun, kemudian dirindukan, dan aku tidak lagi berkesedihan, pasti akan menjadi cerita yg menarik di akhirat, nanti..” ia tersenyum renyah..

“Aku tidak mengenal apa itu cinta..”

“Cinta, Tuan? Cinta itu ketika kita memadu hasrat, membutuhkan satu sesama lain.. Seperti matamu yang selalu aku butuhkan untuk memperhatikan bentuk tubuh dan jiwaku.. seperti engkau yang butuh aku sebagai pijakanmu hidup.. tempatmu terlelap..”

“Aku tidak butuh cinta.”

“Aku butuh Tuan. Aku tidak ingin melihat wajah-wajah murung di sekitaran sungai ketika aku membasuh seluruh tubuhku. Aku tidak ingin lagi berbicara kepada beruang yang akan menerkamku tentang hatiku yang hilang.. Aku ingin dicintai dengan baik Tuan..”

“Tidak, aku tidak bisa lagi meraihmu.”

Wanita berjalan gontai menjauh.

Baiklah, demikian wanita itu perlahan menaiki awan menuju jalan lain menghapus gelora penantiannya. Hingga akhirnya ia mendalami laut hingga dasarnya menemukan pucuk yang hilang, menyejukkan hatinya selamanya. Ya, awannya mencair dan melepasnya di tengah samudera. Ia ditelan gelombang-gelombang kesukaannya, hingga pada dasarnya ia ditemukan kesejatiannya. Dengan satu hal yang baru atau kepada air-air sungai yang selalu membasuhnya di masa lampau nan bermuara, kemudian menemukannya. Laut mengembalikan segalanya kepada wanita. Wanita harus melewati perasaan dan waktu yang panjang untuk pengembaliannya itu..

Jakarta, Juli 2011- Wanita dengan mata gelap yang berdiri di hadapanku siang itu.

0 komentar: