Rabu, 29 Februari 2012

Panggung

Hidup itu benar seperti panggung.

Pertama kita harus perhatikan saat yang tepat untuk kita keluar dari balik layar. Perhatikan dengan detil musik pembuka, sebagai penanda kita harus bersikap. Perhatikan langkah kian menanjak tangga panggung, jangan keluarkan suara gaduh yang menderu telinga penonton.

Perhatikan kondisi pikiran dan hati, ketika kita memulai segalanya. Sekalipun, terkadang tukang lampu lupa menyorot sudut keluar, sehingga kita butuh tindakkan improvisasi yang menyenangkan, di luar garis rencana, dan hasilnya mengejutkan.

Tujuan kita adalah menuju tepuk riuh penonton ketika layr tertutup kembali di detik terakhir. Kita bicara seolah-olah kiita akan tersengat listrik panggung bila tidak mengucapkannya sesuai dan baik-baik. Kita bergoyang, mengurai gestur, menguasai panggung. Mencapai segalanya yang ada di hidup. Depan, tengah, samping, dan ke depan. Sewaktu-waktu kita harus berlari, ternyata dialognya salah dan waktu memutar.. Semua orang di balik layar mulai berbisik berisik. Berteriak hati-hati. Dan kita buyar. Sedikit bingung, lemah. Namun bekal berbulan-bulan latihan, menguatkan. Bekal, ibadah dan kasih orangtua meyakinkan kita untuk terus menjalani kehidupan.

Kita berlari menguasai alur pementasan, dialog yang lain tidak boleh buyar dan tertinggal. Gestur jangan terlihat kaku, kali ini kita benar-benar bersandiwawara. Konflik sesungguhnya telah merajam hati kita untuk membeku, menggoda kita untuk menampilkan bentuk yang kelu, dan menuai pikiran aneh penonton. Bisa-bisa mereka curiga, musik mulai bersambar kian kemari. Mereka bingung terhadap titik yang beku di panggung. Kita harus bersandiwara. Ternyata pelarian tidak cukup, dialog sebelumnya menggantung, dan lampu terlanjur menyorot kekosongan kita. Kian kita harus menyelesaikan masalah sendiri, diam dan berpikir. Mengadah ke atas, berbisik dalam hati. Atasi semua lalu pergi. Dan jangan biarkan siapapun tahu..

Jadi kita melongok ke atas, mengadah kepada Tuhan. Black out. Di panggung harapannya mengadah kepada ruangan linghting, berharap menarik tuas black-out. Matikan semua pandangan, berikut pandangan siapapun mengenai titik yang terlanjur-terlanjur-terlanjur demikian.

Hilang sudah, selamat sudah. Sampai kita kepada peraduan, dipeluk juru dandan. Mengelus wajah, memberi minum, dan mengipasi tubuh yang basah. Tiba kita pada keselamatan, Yang di Atas menyelamatkan kita, tiba kita kepada kenyamanan. Namun panggung tetap menderu, kali ini dialognya berupa seruan dan nyanyi. Vokal-vokal mulai diadu. Kian datang masalah baru, suaranya tiba-tiba hilang. Kita sudah siap, bila sebelumnya kita sudah menyiapkan segalanya. Kita berbekal kelapangan hati dan ikhlas, kita membaca suasana dan menjadi dewasa. Di panggung, akhirnya menariklah pita suara, improvisasi tawa canda menjadi tangis gerutu yang dalam, akhirnya adalah bentuk audio visual nan ciamik. Penonton berdehem kagum.

Tata panggung tersenggol dan properti hilang. Menengoklah ke atas. Lampu teralihkan. Menengoklah ke dalam hatimu, mengingatlah kepada kuasa –Nya. Hingga semuanya terselesaikan dan diatasi dengan mengganti cadangan properti yang dibawa pemain lain nan diselipkan di antara ikat pinggang dan kolornya.

Begitu kian hadir dalam 2 jam pementasan misalnya, begitu beragam. Namun intinya kita adalah tetap seperti tujuan, menghasilkan tepuk riuh itu. Dengan beragam bekal, mental, tenggorokan, mengahafal naskah, gestur, move, vokal, titik lampu, properti, kostum, bahkan make up semuanya dipersiapkan. Demikian hidup dengan hati, otak, dan raganya. Demikian kita sanggup berpura-pura, menjadi orang lain demi melakoni tujuan kita. Bagaimana caranya hidup, semuanya telah dipersiapkan Tuhan. Kita butuh bersyukur untuk meresapinya dengan baik. Demikian panggung, bersyukur melatih mental kuat dari melihat saingan. Bersyukur melatih untuk tenang, memancing improvisasi tanpa keraguan dan cepat, mengeksekusi gerakan, dan memutus urat malu demi ekstrimitas yang kelaka akan memmbangun jiwa pementasan tersbut. Kalaupun segalanya kemudian terlihat menjadi seperti kesialan, semuanya merupakan buah dari pilihan kita. Segalanya, gerakan, null konsentrasi, meminum air es, dan hilang kontrol adalah sebagiannya kepada kecerobohan yang selanjutnya terjadi. Dan semuanya telah di atur, oleh Tuhan, The Director.

Menulis

Ada sebuah teori menulis, sebenernya belum usai saya pikirkan, namun mungkin akan terselesaikan berurut dengan terselesaikan tulisan ini.

Kriteria menulis yang aman adalah tulisan yang mewakili perasaan banyak orang. Kesamaan-kesamaan yang terselubung pada tulisan menjadikan tulisan kita dicintai oleh beberapa kalangan pembaca. Biasanya penulis handal seperti itu adalah kaum perasa yang dengan intensif menulis. Jadi, semua tulisannya terstruktur dan berselera.

Namun ada kalanya ketika seseorang berhenti menulis karena banyak hal dan ketika ia mencoba memulainya kembali ia kehilangan caranya. Ia mencoba menuliskan hal-hal yang jujur mengenai dirinya sendiri, namun tiba-tiba terdapat konflik batin mengenai kedewasaan yang menahannya. Ada lagi ketika ia mengambil contoh di sekitarnya, sekalipun berupa fakta dan ia sudah tau jelas berapa tingkatan menariknya kisah tersebut untuk diuraikan dalam tulisannya, tiba-tiba ia tertahan karena iba dan pikiran mengenai karma. Ada lagi yang menarik, tidak masuk di akal, dan telah memiliki jaminan ketertarikan bagi orang-orang yang membacanya, tiba-tiba si penulis kehilangan nafsunya lah ia untuk menuliskannya, alasannya singkat, males bin ribet.

Sebenernya teori ini bukan hanya mengenai kepenulisan dan tidak berupa hal tunggal seperti satuannya yang sudah saya jelaskan di awal, namun buat saya pribadi ya seperti memang ada kaitannya. Mengenai penguraian. Baik itu dalam kalimat, suara, maupun sentuhan langsung terhadap perasaan yang kita butuh sampaikan.

Tujuannya? Banyak. Menarik perhatian, menjelaskan perasaan, menandakan bahwa si penulis masih punya kehidupannya.

Saya fokuskan kepada kepenulisan, di luar profesionalisme dan di dalam amatirisme (abaikan) menulis bukanlah satu hal yang purba dan primitif. Jelas, bagi sebagian orang, menulis adalah kebutuhan pokok yang canggih dan multifungsi, baik itu untuk bicara kepada dirinya sendiri maupun bicara kepada orang lain melalui ungkapan-ungkapan pribadinya lewat tulisan. Ada perasaan, pikiran absurd yang dapat dengan mudah disampaikan melalui tulisan. Adalah sebuah konflik yang dapat terjadi kepada penulis apapun ketika ia kehilangan ide untuk bicara pada tulisannya, yang bagi orang lain mungkin invisible dan wasting time banget buat dirasa-rasa. Padahal konflik tersebut intinya dalem loh, bengong kaya orang bego di depan ms. word dan hati sama otak lo menuntut buat gambar dari tuts-tuts hitam itu, ngga enak. Lo ngga tau apa yang sebenernya pengen lo omongin tapi bagian lain dari diri lo pengen itu, banget. Konflik yang dalem lagi ketika sadar banyak banget masalah di dalem diri sendiri yang bisa diselesaikan dengan pembicaraan melalui tulisan tapi ngga bisa dikeluarkan. Say like: “Mau bikin kopi yg enak nih, udah ada kopi, gula, krimer, susu, coklat bubuk, whipped cream, air panas, es batu, mug besar, sama gelas lilin panjang.” Kayaknya sih tinggal nuang, tapi lo ngga tau gimana nuang yang benernya, atau mau dibuat apa enaknya, dingin atau panasnyapun ngga tau. Tolol.

Mungkin membutuhkan adaptasi kepada siapapun yang ingin bertaubat menulis. Saya meyakini itu, menulis itu menyenangkan. Yang ngga menyenangkan, idealisme dalam tulisan kita dijiplak ngepas tanpa ada usaha tambahan atau lainnya oleh jiplakersnya. Menulis itu melegakan. Yang bikin ngga tenang, tulisan kita distalking sama stalkers sakit jiwa, yang ngga cuma diikut-ikutin, ya gaya bahasanya, atau hidup yang diomongin ditulisannya, tapi justru jadi bahan strategi lainnya buat stalkers sakit jiwanya itu buat ngedown-in hidup si penulis. Atau orang ke-ge-eran yang nyangka tulisannya si penulis pasti berujung untuk dia. Atau para jaksa abal-abal alias tukang ngejudge yang berpenyakit hati, bukan galau aja sih, ya yang sirikan lah, dendaman lah, suudzonan lah, yang menilai orang lain dengan tulisannya aja, dan membuat pernyataan konyol tanpa mengenal pribadi nyata selain tulisannya. Kalo kata Rosul saya, Nabi Muhammad SAW barang siapa yang memelihara penyakit hati tersebut, niscaya tidak akan surga ia cium maupun ia masuki. Ehem. Eh ini jenis tulisan blog ababil sekali, tapi menurut saya ya emang manusiawi kok. Semua manusia punya hak masing-masing menanggapi tulisan orang lain. Setiap orang juga punya hak untuk menulis apapun, tanpa sara dan nama jelas, kita ngga bisa membatasi apakah itu semua sekedar fiktif imajinatif ataupun ya sesungguhnya perasaan penulis. Ya berusaha sama-sama dewasa lah.

Tapi ya kira-kira demikian lah arti penulisan bagi orang yang mungkin gemar dan selalu butuh menulis. Semua teori tadi adalah hal-hal yang demikian berselubung di pikiran saya selama ini dan menjadi adaptasi kepada saya yang telah mengabaikan hidup saya yang satu itu. Saya bukan penulis profesional, lebihnya adalah sekedar mencurahkan kegundah gulanaan saya. Demikian anda terjebak pada sebuah teori absurd dan ketidak-pentingan hidup saya kembali. :3

My Cute February

Semakin sering kita bicara semakin banyak yang terbuka dan semua orang ketahui. Semakin terbiasa kita menulis, semakin lihai kita mendapatkan cara untuk bicara dengan gaya yang lebih cool bahkan untuk menghina seseorang dan sebagainya secara terselubung. Dan demikianlah otak saya kelu tanpa menulis bertahun-tahun dan diam.

Ngga kerasa udah semester 4. Artinya udah setahun lebih saya hidup di Solo sekalipun belom utuh karena ya kalo diitung-itung kepotong banyak lah sama liburan pulang ke rumahnya. Demikian saya menggendut dan melarat. Ehm, Sebenernya kalimat terakhir terlalu terdramatisir, makna sebenarnya adalah berat tubuh saya yang belum stabil karena sesungguhnya saya masih berat melepas jabatan saya sebagai pemamah biak sejati sedunia. Solo adalah pusat kuliner yang berhasil men-jet-coaster-kan berat badan saya. Dan makna melarat adalah kehidupan anak kos yang tetep ngga gampang, men. Ya biasa aja deh anak kos. Kali ini banyak yang mau saya share.

Barbieland, booster tv sudah diganti yang baru. Tatanan kamar udah kegubah yang ke empat kali kiranya dari awal semester, dengan porter dan design interior tertangguh sedunia (baca: Fenti Cantik). Ya lumayan lah sekiranya buat lahapan otot tubuh saya ngangkatin meja ama dipan sambil maku-maku pake ulekan kosan sendirian. Hidup saya semakin indah dan lengkap di Solo semenjak ada Pedro. Entahlah motor moron yang bersuara lembut banget itu sangatlah memfasilitasi hasrat saya selama ini kemanapun, super hemat dan super sekali rasanya kalo lagi lemes selalu ketiban sama bodinya yang super semok.

Akhir-akhir ini saya berpikir banyak mengenai ‘true-friends’, just skip it. Saya banyak memikirkan kasih sayang Ibu sama Ayah saya yang belakangan ini semakin bawel. Belakangan ini saya banyak mendapat perhatian dan curahan kasih sayang. Oiya saya juga sedang sering berpikir dan menebak, sekalipun pada akhirnyapun hanya sebatas menguraikan ‘Gimana ya?’ mengenai dunia saya selanjutnya, mengenai masa tua, Ibu dan Ayah ketika saya dewasa, dan persahabatan saya di hari tua nanti.

Hidup semakin kerasa indahnya, ketika saya menemukan diri saya yang sebenarnya kembali. Saya merasa sangat bersyukur sekaligus memang menyesal ketika menyadari perubahan yang begitu drastis dan membuat saya bicara berulang-ulang jelas menyatakan “bukan-gua-banget’. Worthless. I did trashed my self, but alhamdulillah wasyukurillah God saved me soon. Then I realized, It doesn’t need to be guessed anymore, it needs to be lived, enjoy it Fun.

Merusak hidup orang emang menyenangkan tapi ngga menyenangkan kalo misalnya kita dibales dirusak hidupnya sama orang lain. Makanya ngga usah deh revenge-revengean macem film-film superhero Amerika.Saya bilang sama diri saya buat ikhlas bener-bener sama apa yang saya terima sekalipun udah dirusak orang.Eh ini bukan konotasi negatif ya.Saya free drugs dan virginity-fighter.

Btw ada dosen muda super ganteng di kelas saya semester ini. Yang jadi nilai plus beliau udah S2, ngerti habit anak twitter, dan doski idealis. Plus berambut keriting ikal. Matanya tipis banget, he cutely loses his eyes when he smiles. He’s kindly my favorite guy. Sayangnya. Bla-bla (Isi sendiri, red.) Dan banyak dosen baru yang ngga saya kenal sebelumnya. Dan ada makul fotografiiii! Sekalipun ngga bisa moto, betapa senengnya pada akhirnya saya masuk ke materi dunia ini. Ya ternyata banyak juga cerita perkuliahan kali ini. Sekalipun saya masih belom punya dosen favorit di FISIP tapi FISIP kian banyak mengukir cerita di hidup saya. Tsah.. Ini ceritaku. Apa ceritamu :3

In a Better World


Gimana bentuk kehidupan yang lebih baik? Surga? Loh, emangnya yakin masuk surga?

Sebenarnya hidup kita ini baik-baik saja, kehidupan yang kita jalani di masa sekarang adalah masa depan dari hari-hari kita yang sudah berlalu. Kehidupan yang kita jalani sekarang adalah harapan mengenai masa lalu yang jauh lebih buruk dan serba kekurangan. Kehidupan yang kita jalani merupakan karmapala mengenai cinta di masa lalu. Kehidupan yang sudah cukup lebih baik.

Tapi bagaimana bentuknya kehidupan yang terlanjur kita anggap baik-baik saja, bisa bertahan paling tidak dalam waktu sehari penuh, dengan stabil, statis, hati kita tenang meriang? Sayangnya, sulit. Kita kurang melihat dan merasakan dalam-dalam, kita terbentur emosi dan hanyut ke dalamnya dalam mengambil keputusan. Atau kita kurang beruntung dengan ketidak cermatan dalam memilih sejak awal? Bukankah kesemuanya sudah ditakdirkan kepada kita? Dan mengapa kita masih menganggap bahwa kita membutuhkan mengemban kewajiban itu semua dan merasakan pesakitannya?

Kadang kejujuran yang dibicarakan mahal harganya menjadi keawalan mutlak bagi semua masalah yang kemudian meracau semua yang ada. kejujuran adalah cermin bagi ketakutan. Kita seperti tenggelam dalam gelembung kejahatan yang Rahwana sebar tatkala kepalanya terjepit gunung Sondara-sondari membalas dendamnya kepada Rama, menyebarkan kejahatan, tertelanbagi umat manusia, tidak sadarnya. Manusia memang mutlak merasa takut dan munafik, demikian kiranya Tuhan melakukan penciptaan. Agar kebosanan dapat dijerang dan melebur seperti air mendidih, kemudian hilang. Kita butuh semacam gelombang, dalam hal apapun.

Sifat-sifat manusia memberikan cerita, terhadap film yang baru saja saya tonton. Apalagi yang kurang? Tuhan kasih begitu banyak, dalam sisi Marrianne, ia memiliki suami tampan rupawan, bertubuh surga, berhati malaikat, dua anak laki-laki tampan, pekerjaan mapan, bahkan rumah musim panas yang terlihat seperti benar-benar surga adanya.. dan dia masih merasakan kegalauannya. Seperti kehidupan biasanya, dengan alur proses tegang menuju perceraian, semuanya bertindak sebagai orang dewasa, termasuk kedua tokoh anak utama. Filmnya menarik karena keduniaan yang ditampilkan begitu sarat, rumit, dan berkaitan. Keberkaitannya semua dibuat sangat logis dan alurnya cukup berhasil membuat was-wasan. Seakan-akan alami, sekalipun harus terganggu dengan extreme-zoom-in yang terjadi berkali-kali dan posisi kamera yang kurang halus karena terlihat ngga stabil. Tapi sebagai isi dan kualitas gambar ya baiklah.

Saya bertekad dalam hati akan menunjukkan film ini kepada anak saya. Moral yang tak kurang mengajarkan betapa kita memiliki kewajiban melakukan semua kebaikan dan menahan kesakitan yang tiada sebanding dengan kebesaran hati bagi yang memiliki pemikiran itu. Moral mengajarkan perlindungan bagi sahabat, satu-satunya orang yang ada bagi kita setelah kita kehilangan segalanya yang kita harapkan di dunia ini. Bagi sahabat yang bersama kita, ketika kita melalui proses ketidak-tahuan, hingga kita mengerti segalanya. Moral betapa keluarga menjadi satu hal yang intim sekalipun terdapat kesalahpahaman, dan kita harus tertuntut menjadi begitu sabar di dalamnya untuk menjadi lebih baik. Mencapai ke-lebih-baik-an. Seperti kekurangan sosok masing-masing, namun kemudian dipertemukan dan saling melengkapi.

Demikianlah Tuhan menciptakan film-makernya yang menjadikan kehidupan biasa-biasa tersebut menjadi satu hal yang menyentuh sensitivitas kita penontonnya, melalu sebagian dialog dan keagungan alam Tuhan ciptakan dengan shot-shot yang damai dan terlihat sejuk membayangkan berada di dalamnya. Dan terdapat lumayan semiotik melalui shot-shot tunggal yang artinya dalem.

Film kemanusiaan yang baik. Sudah seharusnya kita belajar menjadi manusia yang baik, menuju dunia yang lebih baik. Kali ini kita harus yakin, kita akan masuk surga.