Rabu, 29 Februari 2012

In a Better World


Gimana bentuk kehidupan yang lebih baik? Surga? Loh, emangnya yakin masuk surga?

Sebenarnya hidup kita ini baik-baik saja, kehidupan yang kita jalani di masa sekarang adalah masa depan dari hari-hari kita yang sudah berlalu. Kehidupan yang kita jalani sekarang adalah harapan mengenai masa lalu yang jauh lebih buruk dan serba kekurangan. Kehidupan yang kita jalani merupakan karmapala mengenai cinta di masa lalu. Kehidupan yang sudah cukup lebih baik.

Tapi bagaimana bentuknya kehidupan yang terlanjur kita anggap baik-baik saja, bisa bertahan paling tidak dalam waktu sehari penuh, dengan stabil, statis, hati kita tenang meriang? Sayangnya, sulit. Kita kurang melihat dan merasakan dalam-dalam, kita terbentur emosi dan hanyut ke dalamnya dalam mengambil keputusan. Atau kita kurang beruntung dengan ketidak cermatan dalam memilih sejak awal? Bukankah kesemuanya sudah ditakdirkan kepada kita? Dan mengapa kita masih menganggap bahwa kita membutuhkan mengemban kewajiban itu semua dan merasakan pesakitannya?

Kadang kejujuran yang dibicarakan mahal harganya menjadi keawalan mutlak bagi semua masalah yang kemudian meracau semua yang ada. kejujuran adalah cermin bagi ketakutan. Kita seperti tenggelam dalam gelembung kejahatan yang Rahwana sebar tatkala kepalanya terjepit gunung Sondara-sondari membalas dendamnya kepada Rama, menyebarkan kejahatan, tertelanbagi umat manusia, tidak sadarnya. Manusia memang mutlak merasa takut dan munafik, demikian kiranya Tuhan melakukan penciptaan. Agar kebosanan dapat dijerang dan melebur seperti air mendidih, kemudian hilang. Kita butuh semacam gelombang, dalam hal apapun.

Sifat-sifat manusia memberikan cerita, terhadap film yang baru saja saya tonton. Apalagi yang kurang? Tuhan kasih begitu banyak, dalam sisi Marrianne, ia memiliki suami tampan rupawan, bertubuh surga, berhati malaikat, dua anak laki-laki tampan, pekerjaan mapan, bahkan rumah musim panas yang terlihat seperti benar-benar surga adanya.. dan dia masih merasakan kegalauannya. Seperti kehidupan biasanya, dengan alur proses tegang menuju perceraian, semuanya bertindak sebagai orang dewasa, termasuk kedua tokoh anak utama. Filmnya menarik karena keduniaan yang ditampilkan begitu sarat, rumit, dan berkaitan. Keberkaitannya semua dibuat sangat logis dan alurnya cukup berhasil membuat was-wasan. Seakan-akan alami, sekalipun harus terganggu dengan extreme-zoom-in yang terjadi berkali-kali dan posisi kamera yang kurang halus karena terlihat ngga stabil. Tapi sebagai isi dan kualitas gambar ya baiklah.

Saya bertekad dalam hati akan menunjukkan film ini kepada anak saya. Moral yang tak kurang mengajarkan betapa kita memiliki kewajiban melakukan semua kebaikan dan menahan kesakitan yang tiada sebanding dengan kebesaran hati bagi yang memiliki pemikiran itu. Moral mengajarkan perlindungan bagi sahabat, satu-satunya orang yang ada bagi kita setelah kita kehilangan segalanya yang kita harapkan di dunia ini. Bagi sahabat yang bersama kita, ketika kita melalui proses ketidak-tahuan, hingga kita mengerti segalanya. Moral betapa keluarga menjadi satu hal yang intim sekalipun terdapat kesalahpahaman, dan kita harus tertuntut menjadi begitu sabar di dalamnya untuk menjadi lebih baik. Mencapai ke-lebih-baik-an. Seperti kekurangan sosok masing-masing, namun kemudian dipertemukan dan saling melengkapi.

Demikianlah Tuhan menciptakan film-makernya yang menjadikan kehidupan biasa-biasa tersebut menjadi satu hal yang menyentuh sensitivitas kita penontonnya, melalu sebagian dialog dan keagungan alam Tuhan ciptakan dengan shot-shot yang damai dan terlihat sejuk membayangkan berada di dalamnya. Dan terdapat lumayan semiotik melalui shot-shot tunggal yang artinya dalem.

Film kemanusiaan yang baik. Sudah seharusnya kita belajar menjadi manusia yang baik, menuju dunia yang lebih baik. Kali ini kita harus yakin, kita akan masuk surga.

0 komentar: