Ada
jalan, di mana kita benar-benar menemukan satu titik yang tidak lagi membuka
jalan lainnya, tetapi benar-benar menemukan kita kepada refleksi jalanan yang
sedang kita lakoni tersebut. Menjauh dari esensi sebuah perjalanan. Sedihnya,
kadang kita terlalu sibuk menjadi gugup karena berhenti di sebuah peraduan
buntu tersebut. Bukannya kita bersyukur.
Kita
terlalu apatis terhadap diri kita sendiri. Yang dipikirkan terus–menerus adalah
pikiran, hati, telinga, bahkan otak orang lain. Menemukan setapak kebahagiaan
yang didambakan harus berdasarkan apa yang orang lain inginkan. Menghidupi sebuah
kehidupan nyatanya memang tidak mudah.
Di
antara tuntutan dalam hidup, kita masih menyelipkan rasa dendam, persaingan,
dan kebodohan. Sengaja dibuat-buat, yang penting terlihat, biar sama dengan
orang lain. Menghilangkan kepribadian yang agung.
Selama
ini, sinkronisasi perasaan dan kalimat yang timbul sudah berantakan. Tidak teratur
dan terabaikan. Menjadi munafik menjadi halal perlahan-lahan. Tapi tetap
ditutup-tutupi dan enggan menjawabnya. Semua berkat pencitraan yang dibangun
mesra dengan apatisme. Menjadi kosong lalu galau sendiri, kemudian mati
menghilang. Bangkit lagi, dengan pencitraan yang baru dengan sisa-sisa yang
lama yang sudah terlunta..
0 komentar:
Posting Komentar