Sebenernya soal menonton film saya udah ketegori
ketinggalan zaman. sebagai anak film, kerasanya udah asing sama yang namanya
bahas scene, semiotic, angle, bahkan aktornya. Semenjak Running Man merinai di
otak dari awal tahun ini, film itu jadi kekasih yang diduakan. Mungkin posisinya
sama kaya dulu menduakan teater dan menulis. Ha-ha. Semakin tua, rasanya
sepakat banget hiburan itu bentuknya harus sejuta persen efisien. Ketawa dan
sedikit mikir dalam waktu satu setengah jam menggantikan film yang bisa lewat
dua jam dan harus memecahkan teka-teki, atau lebih parahnya lagi malah ngga ada
teka-tekinya. Saking dangkalnya. Tapi demikianlah hidup, kalo sudah digariskan
pada satu hal, mau kemanapun garis selanjutnya suatu saat akan berujung
kepadanya lagi.
Belakangan ini karena saya ngga banyak nonton film,
saya juga jadi ngga pernah nulis soal film-film yang baik, yang pernah saya
tonton. Film terakhir-terakhir yang super keren saya tonton adalah Sang Penari
karya Ifa Isfansyah yang tampil menyedihkan di acara saya sendiri. Sang Penari
berhasil menarik hati saya dengan tema sekian tahun lalu yang Indonesia Banget. Sejarah itu ngga
selalu ditunjukkan dengan cara yang monoton, Mas Ifa pinter banget mengenalkan
sejarah ‘kita’ lewat Sang Penari dengan improvisasi yang ketangkep sama
generasi zaman sekarang. Sayangnya, untuk menonton film ini memang luar biasa
terbatas, dvdnya juga ngga banyak beredar, jangankan download. Film yang memang
harus dijauhkan dari pembajakan. By the way, saya juga habis menonton Salmon Fishing
in the Yemen by Lasse Hallstrom film yang digarap berlatar belakang Inggris dan
Timur Tengah yang menyibak kemustahilan di dalam keheningan memancing. Menurut
saya, selain dimanjakan dengan shot-shot dengan film ini kita belajar soal
banyak hal dari kegiatan memancing yang selama ini dilihat sebelah mata aja. Dan
Where Do We Go Now? Film Arabic yang mengangkat tema gender yang miris
sekaligus kocak. I enjoyed them.. recommended deh hehe.
Oke, sebagian adalah prolog alaynya. Berikut adalah
maksudnya. Hehe
Yang baru saja saya tonton adalah Moonrise Kingdom
(2012). Scene dalam filmnya nyaris sempurna, plus lagi karena berhasil mengecoh
orang Indonesia semacem saya yang nggak tau soal kepulauan di Amerika sana dan
akhirnya menyangka bahwa film ini berlatar di Inggris. Setting tahun 1965
dibawa di film ini dengan baik, mungkin dimudahkan dengan setting tempat yang berada
di tempat terpencil yang masih punya bangunan-bangunan klasik di sana, selain
itu properti dan kostum yang digarap serius, termasuk gereja, rumah, dermaga,
sampai mobil patroli. Lucu deh.
Alur ceritanya, tentang first love dua anak kecil
Sam dan Suzy. Keduanya digambarkan sebagai trouble maker yang membuat kacau
satu pulau tempat mereka tinggal. Sebagai karakter yang melengkapi, yaitu Sam
sebagai yatim piatu dan tinggal di kamp pramuka dan Suzy sebagai anak perempuan
satu-satunya dari 4 bersaudara yang tinggal di rumah sempurna dan mengetahui
Ibunya memiliki hubungan khusus dengan Kepala Polisi setempat. Cerita utamanya
sih perjalanan mereka menunju their ‘Moonrise
Kingdom’ di sebuah pantai yang mereka kira akan jauh dari kehidupan mereka
sebelumnya yang menjenuhkan dan
menyedihkan, tapi dari perjalanan mereka ditemukanlah perhatian yang
lain. Brotherhood, parents love, juga perhatian orang-orang satu pulau yang
berusaha menemukan mereka. Plot dalam
film ini terlihat ringkas semacem 500 Days of Summer, petunjuk dalam film hanya
berdasarkan shot-shot singkat dan bahkan langsung disampaikan oleh Mr-Red-Coat yang
mengaku sebagai guru katografi Sam. Sebenernya saya juga bingung, Mr-Red-Coat
ini semacem imajinasi atau buah pikiran dari Sam. Mengingat Sam semacam anak
jenius yang memiliki masalah emosi, dan mungkin juga mental, berikut Suzy. Keduanya
digambarkan begitu kuat pada usianya. Di film ada beberapa scene khas, yaitu
panning buat menunjukkan beberapa aktivitas dalam waktu yang bersamaan, seperti
kegiatan para Scout-Boys atau kegiatan honeymoon Sam dan Suzy.
Menurut saya, Moonrise Kingdom menunjuk kepada
sebuah tempat. Yak pantai tempat Sam dan Suzy menuju. Ingat ketika film di awali
diperlihatkan sebuah lukisan rumah tempat Suzy tinggal, juga Scout Camping
tempat Sam tinggal. Dan yang terakhir lukisan Sam di rumah Suzy. Dengan imajinasi
Suzy yang kuat dan kemampuan Sam, they built it. Tema artistik memiliki peran
di film, baik lukisan atau karya-karya sastra yang banyak ditampilkan di dalam
scene. Moralnya? Hmm.. mungkin
menunjukkan supaya kita berkeyakinan seperti Sam atau Suzy yang pada akhirnya
paling ngga berhasil mencapai Moonrise Kingdom seperti yang mereka bayangkan. Hal-hal
yang belum seharusnya dicapai anak-anak, tapi ya memang sudah dicapai oleh
karakter jenius seperti mereka. Yang masih ngga saya ngerti imaginer love
semacam ini kenapa harus ditunjukkan dengan kehidupan anak-anak ya? Kalo mau
menunjukkan bagaimana seorang anak mencari perhatian sih masih nyambung, tapi
kalo menunjukkan anak laki-laki dan anak perempuan yang berusia sekitar 10
tahunan jatuh cinta, lari dari rumah, saling mengirimi gambar telanjang, menusuk
temannya menggunakan gunting, French kiss di tepi pantai yang kemudian tidur
bareng, atau kemudian menikah di bawah umur. Hmm. Sebagai penonton film
sejujurnya film ini ngga menyisakan kesan yang dalam buat saya, meskipun dapat
rating 7.8/10 dari IMDb.