Sabtu, 17 Agustus 2013

Moonrise Kingdom



Sebenernya soal menonton film saya udah ketegori ketinggalan zaman. sebagai anak film, kerasanya udah asing sama yang namanya bahas scene, semiotic, angle, bahkan aktornya. Semenjak Running Man merinai di otak dari awal tahun ini, film itu jadi kekasih yang diduakan. Mungkin posisinya sama kaya dulu menduakan teater dan menulis. Ha-ha. Semakin tua, rasanya sepakat banget hiburan itu bentuknya harus sejuta persen efisien. Ketawa dan sedikit mikir dalam waktu satu setengah jam menggantikan film yang bisa lewat dua jam dan harus memecahkan teka-teki, atau lebih parahnya lagi malah ngga ada teka-tekinya. Saking dangkalnya. Tapi demikianlah hidup, kalo sudah digariskan pada satu hal, mau kemanapun garis selanjutnya suatu saat akan berujung kepadanya lagi.

Belakangan ini karena saya ngga banyak nonton film, saya juga jadi ngga pernah nulis soal film-film yang baik, yang pernah saya tonton. Film terakhir-terakhir yang super keren saya tonton adalah Sang Penari karya Ifa Isfansyah yang tampil menyedihkan di acara saya sendiri. Sang Penari berhasil menarik hati saya dengan tema sekian tahun lalu yang Indonesia Banget. Sejarah itu ngga selalu ditunjukkan dengan cara yang monoton, Mas Ifa pinter banget mengenalkan sejarah ‘kita’ lewat Sang Penari dengan improvisasi yang ketangkep sama generasi zaman sekarang. Sayangnya, untuk menonton film ini memang luar biasa terbatas, dvdnya juga ngga banyak beredar, jangankan download. Film yang memang harus dijauhkan dari pembajakan. By the way, saya juga habis menonton Salmon Fishing in the Yemen by Lasse Hallstrom film yang digarap berlatar belakang Inggris dan Timur Tengah yang menyibak kemustahilan di dalam keheningan memancing. Menurut saya, selain dimanjakan dengan shot-shot dengan film ini kita belajar soal banyak hal dari kegiatan memancing yang selama ini dilihat sebelah mata aja. Dan Where Do We Go Now? Film Arabic yang mengangkat tema gender yang miris sekaligus kocak. I enjoyed them.. recommended deh hehe.

Oke, sebagian adalah prolog alaynya. Berikut adalah maksudnya. Hehe
Yang baru saja saya tonton adalah Moonrise Kingdom (2012). Scene dalam filmnya nyaris sempurna, plus lagi karena berhasil mengecoh orang Indonesia semacem saya yang nggak tau soal kepulauan di Amerika sana dan akhirnya menyangka bahwa film ini berlatar di Inggris. Setting tahun 1965 dibawa di film ini dengan baik, mungkin dimudahkan dengan setting tempat yang berada di tempat terpencil yang masih punya bangunan-bangunan klasik di sana, selain itu properti dan kostum yang digarap serius, termasuk gereja, rumah, dermaga, sampai mobil patroli. Lucu deh.

Alur ceritanya, tentang first love dua anak kecil Sam dan Suzy. Keduanya digambarkan sebagai trouble maker yang membuat kacau satu pulau tempat mereka tinggal. Sebagai karakter yang melengkapi, yaitu Sam sebagai yatim piatu dan tinggal di kamp pramuka dan Suzy sebagai anak perempuan satu-satunya dari 4 bersaudara yang tinggal di rumah sempurna dan mengetahui Ibunya memiliki hubungan khusus dengan Kepala Polisi setempat. Cerita utamanya sih perjalanan mereka menunju their ‘Moonrise Kingdom’ di sebuah pantai yang mereka kira akan jauh dari kehidupan mereka sebelumnya yang menjenuhkan dan  menyedihkan, tapi dari perjalanan mereka ditemukanlah perhatian yang lain. Brotherhood, parents love, juga perhatian orang-orang satu pulau yang berusaha menemukan mereka.  Plot dalam film ini terlihat ringkas semacem 500 Days of Summer, petunjuk dalam film hanya berdasarkan shot-shot singkat dan bahkan langsung disampaikan oleh Mr-Red-Coat yang mengaku sebagai guru katografi Sam. Sebenernya saya juga bingung, Mr-Red-Coat ini semacem imajinasi atau buah pikiran dari Sam. Mengingat Sam semacam anak jenius yang memiliki masalah emosi, dan mungkin juga mental, berikut Suzy. Keduanya digambarkan begitu kuat pada usianya. Di film ada beberapa scene khas, yaitu panning buat menunjukkan beberapa aktivitas dalam waktu yang bersamaan, seperti kegiatan para Scout-Boys atau kegiatan honeymoon Sam dan Suzy.

Menurut saya, Moonrise Kingdom menunjuk kepada sebuah tempat. Yak pantai tempat Sam dan Suzy menuju. Ingat ketika film di awali diperlihatkan sebuah lukisan rumah tempat Suzy tinggal, juga Scout Camping tempat Sam tinggal. Dan yang terakhir lukisan Sam di rumah Suzy. Dengan imajinasi Suzy yang kuat dan kemampuan Sam, they built it. Tema artistik memiliki peran di film, baik lukisan atau karya-karya sastra yang banyak ditampilkan di dalam scene.  Moralnya? Hmm.. mungkin menunjukkan supaya kita berkeyakinan seperti Sam atau Suzy yang pada akhirnya paling ngga berhasil mencapai Moonrise Kingdom seperti yang mereka bayangkan. Hal-hal yang belum seharusnya dicapai anak-anak, tapi ya memang sudah dicapai oleh karakter jenius seperti mereka. Yang masih ngga saya ngerti imaginer love semacam ini kenapa harus ditunjukkan dengan kehidupan anak-anak ya? Kalo mau menunjukkan bagaimana seorang anak mencari perhatian sih masih nyambung, tapi kalo menunjukkan anak laki-laki dan anak perempuan yang berusia sekitar 10 tahunan jatuh cinta, lari dari rumah, saling mengirimi gambar telanjang, menusuk temannya menggunakan gunting, French kiss di tepi pantai yang kemudian tidur bareng, atau kemudian menikah di bawah umur. Hmm. Sebagai penonton film sejujurnya film ini ngga menyisakan kesan yang dalam buat saya, meskipun dapat rating 7.8/10 dari IMDb.



0 komentar: