Kamis, 18 November 2010

home

Home. Rasanya tenang banget hati saya.

Tuhan itu maha adil, see.. banyak banget yang saya dapetin. Khususnya ketika saya di rumah. Kemarin, saya males pulang. Saya takut uang 4 juta yang abis bikin saya abis-abisan diomelin, didamprat, diusir ke Solo selama-lamanya. Saya males, saya males pulang ke Tangerang, jauh. Saya males pulang ke Bendhil, sumpek. Saya males berbasa-basi sama tetangga, kenapa saya pulang, saya males nerima omongan dan pandangan orang-orang mengenai saya kalo mereka liat saya lagi. Saya males, pasti ada memori yang keulang. Saya males pulang, bawa ini itu. Saya males Ibu nanti pasti ribet bawain saya ini itu, jangan sampe aja saya dibawain mesin cuci sama kompor gas (rencana terakhirnya, dia bilang mau bawain saya kompor listrik, biar saya gak repot lagi masak dan bergemul dengan tetangga saya yang rada psiko -_-). Saya males, pasti diomelin deh kalo tidur siang, pasti sama aja kaya dulu ngga boleh keluar malem-malem, pasti diteror lewat telpon deh.. ah pokoknya saya males, mana pas saya mau pulang, saya lagi masa sayang banget sama kelas saya komunikasi B.

WELL, BUT FINALLY I WAS ARRIVE AT HOME. THEY GAVE ME A BIG HUG. A BIG WORRY, I HUNG UP THEIR PHONES AT THAT DAY. I PANIC, HOW I WOULD BE HOME WITH ECONOMY TRAIN AFTER ARLAND AND ICHSAN LEFT ME. I WAS ALONE, WATCH THE TRAIN THROUGH THE CITY. JAKARTA.

Aku pulang. Ayah kangen, dan nggak aku pungkiri aku kangen Ibu sama Ayah. Yah awalnya dibuat-buat ternyata kangen beneran. Kangen sama malaikat-malaikat jahanam saya PIENCE, kangen sama hidup saya di Jakarta. Kangen sama Metlek, akhirnya kan dek kakak kangen sama kamu.

Saya pulang, dengan kembali ke rutinitas. Kali ini Ibu sama Ayah jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuh lebih manjain saya. Biasanya saya di kosan melakukan semua hal sendiri, merasa nggak berguna sendiri, bergalau ria dan memikirkan sesuatu sendiri, semua sendiri. Tapi kali ini, saya pulang.. saya pulang dengan begitu perasaan yang membiru dan begitu cerah meriah gemaripah di hati saya. kali ini saya sadar, ketika saya melihat mereka, saya sekarang begitu mengerti mengapa saya hidup, saya untuk mereka. Orang-orang rumah yang begitu mengharapkan saya, dan saya rindukan. Keluarga saya, sahabat saya, dan orang-orang Jakarta. Berapa lama saya pergi? Sampahmu masih membiru, Jakarta! Kalimati semakin gersang, dan mobil-mobil merindukan saya, tukang ojek langganan menggigit bibir menatap saya kelu penuh haru. “Saya ngga ke tiga lima lagi, bang..” dia jawab.. “lagi libur ya pen?” uh, nama saya jelek banget, mana sama-sama budek lagi. bah.

Hari ini, pagi kedua saya di Jakarta. Saya masih gembira, dan akan gembira selamanya. Umh oke Surakarta masih ada, dia menagih janji, janji makalah! aaaaaaa

Nangis kejer pertama di Solo

Hidup itu membutuhkan warna. Warna itu membutuhkan tempat. Seperti saya yang butuh kamu dan kalian.

Saya rasa, kita sudah semakin dewasa, seperti nyonya bumi yang semakin tua. Saya membaca hatinya, dan saya tau bagaimana nyatanya, karena itu saya menangis. Saya terlalu rancu untuk bicara, saya terlalu enggan untuk bilang iya.

Tenang ya, saya ngga akan seperti dulu. Saya berusaha jadi tenang dan tetap senang. Semuanya masih terkendali, sekalipun sesunggukan saya menghasilkan cairan indah di hidung tanpa kendali malam itu. Saya menjadi munafik, karena saya tau bagaimana rasanya. Saya mencoba tau, saya tetap menjaga perasaan. Saya nggak berniat pergi, tapi saya akan tetap pergi, karena saya terbawa, hilang, dan tetap ingin hilang. Saya terlanjur bingung sama keadaannya.

Kehidupan orang dewasa bukan lagi terlanjur dicap sebagai dramatisasi paling menyedihkan, tapi nyatanya memang penuh drama tanpa sentuhan apapun yang mampu mengalihkannya. Kehidupan orang dewasa, saya rasa saya telah mencapainya. Ada hal-hal yang harus saya bicarakan dan ada yang harus tetap saya rahasiakan. Bukankah saya sejak dulu ingin disebut sebagai orang dewasa, terlepas semuanya yang menyebut sifat kekanak-kanakan saya adalah abadi, atau siapapun memanggil saya bocah?

Terima kasih, kepada sahabat-sahabat yang menenangkan saya malam itu.

post it

Halo fenti,

Fenti yang sedang terpaku dan terpaksa dipertemukan kembali padaku. Cermin pagimu saat itu. Pelukan sesunggukanmu.

Halo fenti yang baru.

Fenti yang beranjak dewasa, mahasiswi dengan kemeja merah mudanya. Yang pandai melihat bayangan lesunya. Merana-rana payau, dan gemilau. Rasanya seperti Shayou. Manis dan asin.

Halo fenti,

Masih ingat dengan cinta pertamamu? Wah sayangnya kamu tidak punya. Ingat ada apa di balik panggung siang itu. Gemuruh dadamu yang merindu padanya. Ingat sesuatu yang memelukmu di saat kau jatuh terhuyung lalu mati terhampar angin? Ingat dia tidak mencintai wanita? Atau Dia yg bertanya pada halayak .. “adakah yang bisa mencintaiku apa adanya tanpa melihat rupanya aku dan betapa tinggi tubuhku yang tak akan sedikitpun sudi menyentuhmu yang di bawah sana?” Padahal ada kau di hadapannya menantinya seperti menanti hujan di ujung Juli.

Halo fenti,

Tidakkah aku cukup mengenal kepayahanmu? Tidakkah kau cukup seperti pendeta? Mengagungkan hatimu sendiri di hadapan Yang Punya Kuasa, Tuhan?

Sudah, hentikan tangismu. Itu pertanda jatuh cinta, tenangkan hatimu, atau buang selamanya. Jangan mengulangi mimpi buruk di ladang gulma sore hari itu.. bukankah bernyanyi seperti ini sudah lama kau rindukan, melebihi siapapun yang kau rindukan saat ini. Sudah, jangan ciptakan lagi Tuan Elegi..


“Aku bilang, siapa yang akan mendukungku?”

“Tuhanmu, Ibumu, Ibu jarimu ..”

Waktu Ibu ulang tahun 10-10-10

Pr makalah akhir-akhir ini menumpuk sekalilililili…

Rasanya sudah begitu lama saya hengkang dari dunia per-SD-an, tapi ternyata yang namanya pilihan itu memang tidak dapat diduga. Saya merasa saya dilahirkan untuk dunia yang satu ini, dunia perkuliahan yang hanya mengandalkan nalar kita bisa pertahankan keeksitensian diri. But! Perkuliahan masih penuh sama yang namanya pr, dan pr punya tenggat waktu yang tidak menyenangkan. Sejujurnya saya nggak mau dapet nilan C, jadi apa boleh buat saya akan berusaha, paling tidak membuat barisan paragraph dulu pernah menjadi hal kesukaan saya. semangat!

Hari ini ibu saya ulang yahun, saya ngak pernah ingat betul berapa tepatnya usia beliau. Padahal dia selalu gembar-gembor ke saya dia lahir tahun sekian bulan sekian hari sekian, bahkan shionya, sampe jamnya waktu Mbah saya melahirkan dia. Hubungan saya sama Ibu saya itu kontras banget, saya nggak bisa juga sih kaya anak-anak lainnya yang mendewakan mamanya, yang keliatan begitu ada jarak dan batas. Saya seperti sudah kehabisan palang untuk membatasi hubungan antara ibu dan anak, dia segala-galanya buat saya. Sekalipun saya pernah ‘nangis-dayak’ karena dipukulin sama dia, atau saya pernah berencana kabur atau bunuh diri sekalipun pas zaman SMA –zaman perlabilan- , Ibu adalah segala hal yang paling mengerti saya, Ibu adalah orang yang paling saya harapkan, tujukan, butuhkan, inginkan di dunia ini. Ibu adalah hal paling kolot sedunia, Ibu adalah koki terhebat sedunia, Ibu adalah manusia yang segalanya paham mengenai masa lalu saya, saat ini, bahkan nanti. Ibu adalah orang yang selalu memaafkan saya. ibu adalah orang yang sama persis seperti saya. ibu adalah orang yang paling menjengkelkan sedunia, Ibu adalah orang yang nggak pernah berhenti bicara mengenai saya. Ibu adalah mengenai segalanya tentang saya. saya benci Ibu dan sekaligus sangat mencintainya.

Ibu adalah orang sederhana dengan segala semangat hidup dan cintanya buat saya. dia adalah Ibu yang biasa, Ibu yang selalu berusaha bisa untuk anaknya, Ibu yang pelit, Ibu yang dermawan, Ibu yang bisa peran apa saja. Aktris terbaik di panggung besar ini. Saya nggak pernah membutuhkan dia untuk bermain fesbuk atau rajin membalas sms saya, itu menguntungkan, perannya menjadi Ibu tampak sempurna di bagian itu. Dia Ibu yang tidak mendidik anaknya di pergolakan zaman, Dia mendidik anaknya sebagaimana anaka di pangkuan Ibu, dia meluruskan jalan.. tidak menjadikannya terputus dan menangis lagi.

Dia berikan segalanya buat saya, kuliah di luar kota sampai blackberry. Dia selalu ingin saya tidak seperti dia, dia selalu ingin saya menjadi harapannya, dia selalu ingin saya punya pacar orang cina (oke yg satu ini dia sudah luluh kalo nanti saya punya pacar suku manapun) , dia selalu ingin saya menjadi anak perempuan seutuhnya, dia tidak pernah suka saya memakai gelang, pulang malam, merokok berlebihan, atau bermalasan untuk sisiran. Saya sudah berusaha untuk menjadi seperti yg dia inginkan dan kesemuanya membutuhkan proses. Liat aja nanti saya jadi cewe paling kece sedunia yang paling feminim.

“Terima kasih Ibuku sayang, Ibu yang selalu mengajarkan dunia yang sederhana itu menyenangkan,selamat ulang tahun kepada orang yang paling aku sayangi di seluruh jagad raya ini.. maaf aku nggak angkat sampai ke-21 telfon dari kemarin, dan nggak di sana hari ini.. semoga suka kuenya.. ti amo ma!”

Jumat, 12 November 2010

cin(T)a





Maaf Re-Post. I do really love this movie, then after watched it I felt I forever want to share :D

Bukan, bukan karena saya tergila-gila sama musik yang sekarang lagi hebring dengan lirik ejaan. Tapi saya emang dari dulu ngebet mau liat itu film. Guys, angkat topi ya saya buat movie-makersnya. Film ini “gue banget”.

Saya dulu juga pernah punya cinta beda agama. Seperti yang ada di film ini, pada akhirnya jadinya cuma sahabatan. Saya pernah merasakan galaunya film ini. Film yang berlatar belakang konflik-tak-pernah-mati yang tumbuh subur di Negara kita. Lihat, ini juga bagian dari kultur, sama seperti feodalisme kemarin. Konflik agama adalah bagian dari Indonesia yang tak terpisahkan, sekalipun katanya kita yang Bhineka Tunggal Ika dan kuat toleransi, tapi taukah semuanya kalau konflik seperti itu tidak akan hilang selamanya (mungkin).

Masalahnya ini bukan hanya sekedar konflik perbedaan, di KTP kamu agamanya Kristen, dan di KTP saya agamanya tertulis Islam. Tapi ini mengenai ketika saya suka sama kamu dan begitu juga kamu pada saya. Saya pernah teruus-terusin mikirin bagaimana jalan keluarnya, harusnya.

Begitu juga Annisa dan Cina, tapi untungnya karena mereka jauh lebih pintar dan dewasa ketimbang saya, jadi pada akhirnya dengan idealism setinggi langit, dan hati yang terlatih mereka mampu mengatasinya. Mampu mengatasi bahwa kamu Kristen dan saya Islam. Kamu Cina dan saya Jawa.

Dalam film ini, cukup banyak lukisan-lukisan keabsurditasan hati. Yep, galau.. galau men. Hatinya orang-orang yang lagi galau, bagusnya minta ampun ditampilin sama director of photographnya, ya sutradaranya juga. Yang saya kagumi, hanya melalui scene-scene dengan hanya 2 pemain utama, film ini mampu memberikan lebih dari yang saya kira. Ya saya tau, film yang bukan hanya sekedar hiburan ada aktor tampannya, jauh lebih bermutu kan? Oke saya juga suka sama Kokoh-Kokohnya. -_- tapi yang lebih penting saya sangat mengagumi film Indonesia yg macem begini; hasil karya orang-orang yang bukan hanya sekedar ingin menjadikan Indonesia menjadi berwawasan dunia dengan menjadikan slapstick misteri sebagai tema utama. Tapi masih ada yang mendidik moral, dan mengenalkan musik-musik indie sekaligus kaya begini, yang iramanya agak aneh dan menyuram tapi menggetarkan jiwa.

Mereka jauh lebih CIN(T)A Tuhannya. Ya, ada dialog.. pertanyaan yang sudah saya pernah dengar “Mengapa kalau Tuhan mau disembah dengan satu cara, manusia harus diciptakan berbeda-beda?”

Saya rasa itu adalah bagian dari rencana Tuhan, ya saya setuju Tuhan adalah Arsitek hati dan hidup yang paling baik, yang paling sempurna. Saya jauh lebih mencintai Tuhan saya, kalau saya dibiarkan kembali bertemu sama kamu yang mengajak saya berdoa menurut kepercayaan kamu, saya akan menganggapnya itu jua adalah rancangan Tuhan, tapi kita tidak akan bersatu, tidak akan berubah, tidak akan ada benda yang berganti sebelum benda yang satunya berganti, tidak sebelum kau juga CIN(T)A Tuhanku, ALLAH SWT. Pernah dengar kan, cinta? saya tidak akan merubahnya, dan memikirkan kembali di mana letak ujungnya. Terima kasih Tuan- tuan film, kalian sudah mengembalikan saya.