Halo fenti,
Fenti yang sedang terpaku dan terpaksa dipertemukan kembali padaku. Cermin pagimu saat itu. Pelukan sesunggukanmu.
Halo fenti yang baru.
Fenti yang beranjak dewasa, mahasiswi dengan kemeja merah mudanya. Yang pandai melihat bayangan lesunya. Merana-rana payau, dan gemilau. Rasanya seperti Shayou. Manis dan asin.
Halo fenti,
Masih ingat dengan cinta pertamamu? Wah sayangnya kamu tidak punya. Ingat ada apa di balik panggung siang itu. Gemuruh dadamu yang merindu padanya. Ingat sesuatu yang memelukmu di saat kau jatuh terhuyung lalu mati terhampar angin? Ingat dia tidak mencintai wanita? Atau Dia yg bertanya pada halayak .. “adakah yang bisa mencintaiku apa adanya tanpa melihat rupanya aku dan betapa tinggi tubuhku yang tak akan sedikitpun sudi menyentuhmu yang di bawah sana?” Padahal ada kau di hadapannya menantinya seperti menanti hujan di ujung Juli.
Halo fenti,
Tidakkah aku cukup mengenal kepayahanmu? Tidakkah kau cukup seperti pendeta? Mengagungkan hatimu sendiri di hadapan Yang Punya Kuasa, Tuhan?
Sudah, hentikan tangismu. Itu pertanda jatuh cinta, tenangkan hatimu, atau buang selamanya. Jangan mengulangi mimpi buruk di ladang gulma sore hari itu.. bukankah bernyanyi seperti ini sudah lama kau rindukan, melebihi siapapun yang kau rindukan saat ini. Sudah, jangan ciptakan lagi Tuan Elegi..
“Aku bilang, siapa yang akan mendukungku?”
“Tuhanmu, Ibumu, Ibu jarimu ..”
Kamis, 18 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar