Sudah berapa lama kau mendekam di duniaku? Sudah hafalkah engkau dengan suara-suaranya? Sudah lepaskah engkau dengan pikiran-pikiran lenggangmu?
Jadi kini saatnya kamu memanusiakan kembali dirimu, sudah kuberikan engkau berbaris masa lalu mengenai kamu dan liang-liang yang memenuhimu. Mendewasakanmu dengan air mata yang kuberikan dan kesendirian yang kau anggap nyata. Nak, dunia bukan begitu adanya.
Sudah saatnya kita berkembali, kembali kepada jauhnya kebodohan. Sudah saatnya kita menjauh kepada hal-hal yang menyia-nyiakanmu. Sudah harus semakin jauh langkahmu, sudah sebaiknya kamu pergi. Sudah seharusnya kamu kembali, melihat hidupmu yang lalu-lalu, betapa tidak seharusnya kamu menyambatkan hatimu kepada hal yang tidak akan menyambutmu.. Tidakkah begitu bahagianya hidupmu, Nak..
Minggu, 22 Januari 2012
Sudah berapa tahun usiamu, Nak.
Bumi Manusia
Kesukaan saya terhadap seniman ini terletak di segala sudut. Pramoedya Ananta Toer, adalah sekelumit mengenai keindahan dunia. Ia begitu mengejarkan banyak mengenai sastra kepada dunia.. Seperti cerita saya mengenai buku-bukunya sebelumnya, saya baru saja menyelesaikan salah satu dari tetralogi besarnya, BUMI MANUSIA.
Hampir semua naskahnya mengenai masa lalu dengan ke-kolonial-an dan segala macam kejahiliyahan di masa penjajahan. Ia begitu luwes menceriterakan bagaimana keadaan zamannya memperlakukannya, dan tiada sedikitpun kesan mengenai kemonotonan. Sepertinya, selalu ada sisi yang dikupas begitu dalam melalui kalimat yang cerdas, puitis, sekaligus membuat kita berpikir dan merasakan betapa keagungan Tuhan menciptkan feenomena dalam cerita tersebut dan akal dari penulis yang membuatnya. Pram begitu agung, pantas saja Shelma begitu mati mencintainya.
Bumi manusia bercerita mengenai Mingke. Mingke dan cintanya, Mingke dan hidupnya, Mingke dengan segala ke-Jawanismenya dan Belandanya. Buku ini saya kenal ketika saya menjadi penggemar Pram di masa awal Selma sudah menggilainya. Dulu, saya sama sekali tidak berhasrat kepada penulisnya, ia begitu merubah Selma.. Saya menikmati semua untaian kata-katanya, seperti biasa. Dan saya belum berhasilpun membacanya, apalagi keempatnya..Tetralogi yang saya habiskan sampai detik ini hanya sekedar Laasakar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Dan alhamdulillah, hasrat itu datang lagi untuk kali ini..
Bumi manusia memiliki banyak tokoh di dalamnya dengan keberagaman yang menyesuaikan bentuk, kondisi hidup Mingke di dalamnya. Dan kehadiran tokoh-tokoh tersebut dengan motif dan latar belakang yang tepat menjadikan buku ini semakin bicara, tidak sekedar dari sudut Mingke sebagai tokoh utama melihat. Setting yang digambarkan begitu detail, dan kemudian sastra memudahkan semuanya untuk diungkapkan. Bahasanya begituuuuuuuuu indah. Dan saya jatuh cinta. KOK BISA SIH, saya gemes sendiri. Tokoh Mingke yang dengan tegap gagah dan begitu muda seakan mudah dilihat oleh Pram yang pada saat itu dengan keterbatasannya di pulau Buru. Kultur yang begitu melekat, menampakkan nasionalisme yang kental dan tegar. Sosok masa depan begitu ada pada diri Mingke dan seolah-olah semua bentuk kehidupan sekarang telah diramalkan melalui sosok Mingke. Konflik dalam novel ini merupakan konflik sederhana kehidupan pribumi terhadap kolonialisme yang labil dan penuh kuasa, perseteruan mengenai status dan menuntut satu sama lain. Mengenai pandangan subjektif dan bagaimana menyakinkannya, barang satu dua hal yang jarang terjadi di dunia seperti Nyai dan Annelies begitu indah, sementara di luar sana menilai jauh sebaliknya. Keberuntungan dan kegigihan Mingke adalah poin-poin utama dalam novel ini, betapa ia mencintai bumi manusianya dengan sederhana. Betapapun ia begitu gigih mempertahankan apa yang ada di dalam benaknya. Betapa cerdasnya, dan sungguh betapa beruntungnya ia. Betapa seharusnya kemudian saya berbangga dengan status saya sebagai Jawa, sekalipun ada poin di mana saya tidak bisa menerima, kepada hal-hal yang bicara mengenai segala kekolotan Jawa yang selalu-harus-selamanya berdasarkan hierarki. Tingkatan. Yang di bawah tetaplah di bawah. Hanya bisa menerima. Hanya bisa mengalah. Jawa itu sabar, Jawa Mingke mengenai 5 hal, Wisma, Wanita, Turangga, Kukila, dan Curiga. Dan filosofinya begitu indah, keindahan tersebut yang pada akhirnya saya ambil kesimpulan mengapa para leluhur bertahan dan mempertahankan. Mengapa kita semua sebagai Jawa seharusnya bertahan. Bumi manusia ini rasanya sudah semakin kosong, semakin hilang, tanpa budi dan rasa para manusianya, kelimanya menunjukkan pedoman.
Novel ini bagus. Bagus sekali. Iramanya bernyanyi terpadu, dan sang penulis berhasil menjadikannya sebagai ilmu pengetahuan yang lengkap. Hati saya tak kian berhenti merasa terderu..
A Book
Sebuah buku kembali menyadarkan saya mengenai membuka mata terhadap dunia yang kemudian menjadi semakin fana tanpanya, sebelumnya. Kira-kira hampir setahun kemarin saya lengkap tiada menyentuh sastra, setahun penuh saya tidak menyentuh panggung bahkan menikmatinya sebagai jiwa. Hampir setahun saya jauh dan bertarung menghadapi kenyataan yang menderu. Setahun lamanya saya menjadi tidak produktif, pasif, dan terlalu nyata. Setahun saya tidak membaca buku, buku sesungguhnya. Betapa rindu saya terhadap kepenulisan dan bacaan yang sesungguhnya, untuk urusan kali ini kita benar-benar harus menjauhkannya dari pengertian sekedar timeline Twitter atau blog Tumblr.
Saya berniat kembali kepada masa lalu saya. Masa lalu yang indah, yang saya bangun secara naluriah. Dan berjalan kepada hidup saya begitu lama dan melimpah. Bukan kepada masa lalu yang bersifat sementara dan menjauhkan dari diri saya yang sebenar-benarnya. Sudahlah, sudah seharusnya saya tidak lagi menyesal, termasuk menuliskan kalimat sebelum penanda akhir dari kalimat ini. Semuanya berkah dari Tuhan..
Ternyata hidup tidak sekedar yang belakangan ini saya tangisi. Hidup kembali terbuka tatkala kita kembali dimana kita memulainya.. Bukan sekedar kita bicara mengenai kelabilan sebuah pemikiran bangsa, bangsa ababil. Namun kembali kepada rasa nyaman, rasa nyaman yang selama ini, yang sejak awal, yang selalu kita kenal dan kenang.
Membaca. Salah satu kelangenan sejak saya masih balita. Sejak SD hingga bangku SMP saya selalu mendapat penghargaan atas pembaca terbanyak di sekolah. Tas, buku, jam tangan, bahkan beasiswa.. Membaca yang menemukan saya kepada cinta. Menemukan saya kepada rinaian kata-kata dan harapan kepadanya. Bahkan membaca yang mendidik saya menulis menghasilkan keuangan sementara yang kemudian saya khianati atas nama kesenangan baru yang menghampiri yang nilainya jauh lebih dangkal. Sekalipun dengan mudahnya saya dapatkan dalam waktu yang semengerjapkan mata. Betapa berangnya saya terhadap diri sendiri yang begitu menauh terhadap semua ini..
Dan terima kasih kepada Pram, yang kemudian saya menjadi penganut resminya kali ini. Setelah usai menikmati salah satu masterpiecenya yang telah begitu lama saya dambakan, dalam momen dimana kembalinya saya dari kejahiliyahan dari masa kehilangan atas jati diri saya yang lama.. Terimakasih, hasrat dan ilmu pengetahuanmu, menjadikan saya membuka mata atas diri saya yang lama. Iya, sekali lagi. Yang saya tinggalkan... Saya merintis, mencari kembali jati diri saya, menemukan yang baru dan menemukan yang lama saya tinggalkan. Saya nggak akan menyentuh siapapun yang tidak saya kehendaki sejak awal, terkecuali Kamu yang dari tahun ke tahun selalu mengehendaki saya. Hidup saya indah dan tidak mudah, nggak seharusnya siapapun berusaha masuk dan merusaknya.
Saya apatis dan cuek.
Saya cenderung diam dan tenang. Itu sisi pertama saya. Saya merasa nyaman dan sudah seharusnya. Baru-baru ini saya berhasil flashback tentang betapa berubahnya saya untuk masa hampir setahun ini. Masa ketika saya meninggalkan Jakarta dan masa ketika saya harus mengalami pubertas ala-ala remaja kebanyakannya. Kok ada yang hilang, ada yang aneh mengenai diri saya. Bener aja, kalo postingan saya sebelumnya saya merasa kehilangan bagian diri saya yang lain. Dan kali ini, seolah-olah saya sudah menemukannya kembali. Dan saya enggak akan melepasnya.
Selama ini saya nggak bersyukur. Betapa saya mengabaikan segala kebaikan dan perhatian Ibu saya. Entah teralihkan karena merasa jenuh atau tertekan. Yang jelas, kian ketika Ibu bercerita kembali mengenai masa kecil saya. Saya tersipu menahan haru dan biru. Oh. Seperti itu.
Betapa Ibu saya begitu mencintai saya. Jadi. Kemarin sore ia bercerita bagaimana bahagianya ia menerima tart mahal dan bunga hasil tabungan yang saya kirimkan ketika ulangtahunnya dua tahun belakangan ini. Betapa dia menangis ketika saya nggak-bisa-dihubungin-selama-seminggu-padahal-sebelumnya-ditelpon-tiap-hari-bisa-sampe-empat-kali-kaya-minum-obat. Betapa ia menangis ketika saya berumur tiga bulan dan tiba-tiba menghilang dalam pelukannya ketika tidur. Betapa ia merintih ketika puting susunya tidak bisa saya lepas sampai dua tahun lebih. Betapa ia mengeluh kepada saya ketika harus menunggu kelahiran saya dengan rasa sakit selama 21 jam untuk mengeluarkan saya dari rahimnya. Betapa ia bersusah payah memberi makan saya dengan mengukus ikan bawal dengan wortel dicincang sama keju, memeras kaldu sapi, membuat nasi tim tiap hari untuk makanan tiap harinya saya sewaktu kecil. Betapa ia menjamin gizi saya sampai sebesar ini. Betapa ia mendandani saya, mewarnai rambut saya, mengukur panjang rambut saya, mematchingkan apapun yang ada di diri saya, membeli bra dengan cup ukuran yang paling pas untuk saya, memijat kepala saya, menyuapi saya sampai sekarang, dan membelikan barang-barang yang selalu saya sepelekan namun pada akhirnya begitu saya butuhkan.
Ibu saya memang terkesan lebih mencintai saya. Ia terkesan begitu over-protektif dalam mengurus saya. Ibu saya bacot. Berisik. Pelit. Dan curigaan. Ia mendidik saya dengan baik. Ibu ngga pernah membiarkan saya dengan mudah mendapatkan apa yang saya inginkan dengan uangnya. Ibu selalu mendahulukan jadwal amalnya atau orang lain dibanding beliin saya baju baru. Ibu mendidik saya untuk selalu bisa hidup dimanapun dengan siapapun. Ibu selalu bilang saya harus bisa hidup prihatin. Karena itu saya selalu jatuh cinta sama laki-laki sederhana. Ibu selalu berteriak anak perempuan itu nggak boleh cuek. Ibu selalu berteriak anak perempuan harus bisa melakukan apapun. Ibu selalu bacot nyuruh saya solat. Ibu suka grepe-grepe saya. Ibu selalu mengaku badannya ideal. Ibu saya mungkin ngga lebih dari Ibu-ibu lainnya. Tapi Ibu saya perempuan solehah, jago nyari dan ngatur duit, jago nata barang, sayang sama orangtua, amalnya kuat, mandiri, rajin masak dan masakannya selalu enak, dan yang terpenting dia cinta mati sama saya. What a perfect person.
Voila, seketika saya terflashback-flashback. Beda banget. Saya seperti meninggalkan hal-hal yang sifatnya udah menotok di diri saya. Karena itulah sekian lama saya nggak bisa move-on dari kegalauan yang sebenernya nothing dan too much. Terkesan angkuh sih, tapi nyatanya setelah sampai di tahap ini saya beneran sadar gimana bentuknya. Toh saya udah usaha. Usaha dan kehilangan banyak masa. Kehilangan. Kehilangan. Dan merugi.
Dan demikianlah saya menemukannya. Menemukan lagi sebagian diri saya yang lama, yang begitu saya rindukan. Kunci dari kegalauan yang kian saya harapkan, melalui hal yang ternyata begitu dekat dan nggak pernah sedikitpun menjauh dari diri saya. Ibu.
2011
Tahun 2011 buat saya satu hal yang miris. Tapi ngga ada penyelamatan lain selain bersyukur ketika mengenangnya. Banyak hal yang saya dapatkan, begitu juga dengan yang saya lepaskan. Saya berusaha menyadarkan diri saya akhir-akhir ini, saya begitu menyia-nyiakan apa yang Tuhan berikan. Saya sadar, saya cuma orang yang perfeksionis dan berharap kesemuanya menjadi baik seperti yang selalu saya harapkan, semuanya harus tampil sempurna seperti yang saya inginkan. Di sisi lain saya berusaha jauh, dan seringnya saya juga dapetin semua yang saya lakuin dengan fokus, seujung kekuatan saya, sehabisnya nafas saya. Dan ketika saya lelah saya bilang sama diri saya.. “Lo terlalu nuntut kesempurnaan..” Maka dari itu saya terhenti. Di perhentian saya bertindak seolah-olah waktu akan mengulangnya buat saya, waktu akan menunggu saya, saya akan mendapatkan kesempatan selanjutnya, bukankah saya terlalu perfeksionis, karena itukah saya terhenti dan membiarkan yang lain mendapatkannya. Saya terlepas dan saya menangis deras ketika saya sadar, saya melewati banyak hal. Bukankah hidup cukup adil?
Saya merasa ada yang aneh. Entah gangguan syaraf di telinga saya menyentuh memori dan otak saya. Atau dengan ketidaksiapan diri saya terhadap banyak hal baru di depan saya yang menggebu-gebu, kemudian pada akhirnya menjadikan saya yang tidak berhenti menuntut diri saya saya sendiri. Kira-kira, saya ada di bagian yang mana? Padahal masalahnya cuma ingatan saya yang lambat, insya Allah segera sembuh O:).
2011 mendewasakan saya, menangisi saya, melatih saya bercinta kepada dunia sekitar saya yang muram. Saya takut dengan kenyataan dan 2011 menyerbu saya dengan segala kenyataan pahit, bagaimana hidup seorang dewasa seharusnya. 2011 mengajarkan betapa kegalauan itu adalah bagian hidup inti manusia. Dan apatisme itu sejatinya adalah diri saya sendiri...
Apatis tapi kok masih miris.
Seperti dalam sebuah film indie, berjudul Full Moon. Sekalipun lighting dan shots gambarnya ga begitu bagus, demikian semiotiknya juga ngga kuat. Saya selalu inget pesan dari film ini mengenai tahun baru. Kalo ada bener-bener orang-orang baru, dengan kelakuan, duit, tujuan, pokoknya semua hal yang baru yang bener-bener ada baru deh kita sudah seharusnya rayain tahun baru. Ya emang useless sih, party, open table, dance floor, minum, rokok berbungkus-bungkus. One night stand. Tapi tetep gimana gitu. Tahun baruan saya selalu sama perempuan-perempuan kece dari awal masa remaja saya pas SMA, kepotong tahun baru 2011 tahun lalu sama mantan saya. Saya biasa mengurai doa.
Entah ini penulisan macam apa. Buat orang-orang yang menyambut 2012 semoga harapan dan doanya tercapai. Ya berdoa semoga kita segera bisa merayakan tahun baru yang seutuhnya..