Minggu, 22 Januari 2012

Saya apatis dan cuek.

Saya cenderung diam dan tenang. Itu sisi pertama saya. Saya merasa nyaman dan sudah seharusnya. Baru-baru ini saya berhasil flashback tentang betapa berubahnya saya untuk masa hampir setahun ini. Masa ketika saya meninggalkan Jakarta dan masa ketika saya harus mengalami pubertas ala-ala remaja kebanyakannya. Kok ada yang hilang, ada yang aneh mengenai diri saya. Bener aja, kalo postingan saya sebelumnya saya merasa kehilangan bagian diri saya yang lain. Dan kali ini, seolah-olah saya sudah menemukannya kembali. Dan saya enggak akan melepasnya.

Selama ini saya nggak bersyukur. Betapa saya mengabaikan segala kebaikan dan perhatian Ibu saya. Entah teralihkan karena merasa jenuh atau tertekan. Yang jelas, kian ketika Ibu bercerita kembali mengenai masa kecil saya. Saya tersipu menahan haru dan biru. Oh. Seperti itu.

Betapa Ibu saya begitu mencintai saya. Jadi. Kemarin sore ia bercerita bagaimana bahagianya ia menerima tart mahal dan bunga hasil tabungan yang saya kirimkan ketika ulangtahunnya dua tahun belakangan ini. Betapa dia menangis ketika saya nggak-bisa-dihubungin-selama-seminggu-padahal-sebelumnya-ditelpon-tiap-hari-bisa-sampe-empat-kali-kaya-minum-obat. Betapa ia menangis ketika saya berumur tiga bulan dan tiba-tiba menghilang dalam pelukannya ketika tidur. Betapa ia merintih ketika puting susunya tidak bisa saya lepas sampai dua tahun lebih. Betapa ia mengeluh kepada saya ketika harus menunggu kelahiran saya dengan rasa sakit selama 21 jam untuk mengeluarkan saya dari rahimnya. Betapa ia bersusah payah memberi makan saya dengan mengukus ikan bawal dengan wortel dicincang sama keju, memeras kaldu sapi, membuat nasi tim tiap hari untuk makanan tiap harinya saya sewaktu kecil. Betapa ia menjamin gizi saya sampai sebesar ini. Betapa ia mendandani saya, mewarnai rambut saya, mengukur panjang rambut saya, mematchingkan apapun yang ada di diri saya, membeli bra dengan cup ukuran yang paling pas untuk saya, memijat kepala saya, menyuapi saya sampai sekarang, dan membelikan barang-barang yang selalu saya sepelekan namun pada akhirnya begitu saya butuhkan.

Ibu saya memang terkesan lebih mencintai saya. Ia terkesan begitu over-protektif dalam mengurus saya. Ibu saya bacot. Berisik. Pelit. Dan curigaan. Ia mendidik saya dengan baik. Ibu ngga pernah membiarkan saya dengan mudah mendapatkan apa yang saya inginkan dengan uangnya. Ibu selalu mendahulukan jadwal amalnya atau orang lain dibanding beliin saya baju baru. Ibu mendidik saya untuk selalu bisa hidup dimanapun dengan siapapun. Ibu selalu bilang saya harus bisa hidup prihatin. Karena itu saya selalu jatuh cinta sama laki-laki sederhana. Ibu selalu berteriak anak perempuan itu nggak boleh cuek. Ibu selalu berteriak anak perempuan harus bisa melakukan apapun. Ibu selalu bacot nyuruh saya solat. Ibu suka grepe-grepe saya. Ibu selalu mengaku badannya ideal. Ibu saya mungkin ngga lebih dari Ibu-ibu lainnya. Tapi Ibu saya perempuan solehah, jago nyari dan ngatur duit, jago nata barang, sayang sama orangtua, amalnya kuat, mandiri, rajin masak dan masakannya selalu enak, dan yang terpenting dia cinta mati sama saya. What a perfect person.

Voila, seketika saya terflashback-flashback. Beda banget. Saya seperti meninggalkan hal-hal yang sifatnya udah menotok di diri saya. Karena itulah sekian lama saya nggak bisa move-on dari kegalauan yang sebenernya nothing dan too much. Terkesan angkuh sih, tapi nyatanya setelah sampai di tahap ini saya beneran sadar gimana bentuknya. Toh saya udah usaha. Usaha dan kehilangan banyak masa. Kehilangan. Kehilangan. Dan merugi.

Dan demikianlah saya menemukannya. Menemukan lagi sebagian diri saya yang lama, yang begitu saya rindukan. Kunci dari kegalauan yang kian saya harapkan, melalui hal yang ternyata begitu dekat dan nggak pernah sedikitpun menjauh dari diri saya. Ibu.

0 komentar: