Kesukaan saya terhadap seniman ini terletak di segala sudut. Pramoedya Ananta Toer, adalah sekelumit mengenai keindahan dunia. Ia begitu mengejarkan banyak mengenai sastra kepada dunia.. Seperti cerita saya mengenai buku-bukunya sebelumnya, saya baru saja menyelesaikan salah satu dari tetralogi besarnya, BUMI MANUSIA.
Hampir semua naskahnya mengenai masa lalu dengan ke-kolonial-an dan segala macam kejahiliyahan di masa penjajahan. Ia begitu luwes menceriterakan bagaimana keadaan zamannya memperlakukannya, dan tiada sedikitpun kesan mengenai kemonotonan. Sepertinya, selalu ada sisi yang dikupas begitu dalam melalui kalimat yang cerdas, puitis, sekaligus membuat kita berpikir dan merasakan betapa keagungan Tuhan menciptkan feenomena dalam cerita tersebut dan akal dari penulis yang membuatnya. Pram begitu agung, pantas saja Shelma begitu mati mencintainya.
Bumi manusia bercerita mengenai Mingke. Mingke dan cintanya, Mingke dan hidupnya, Mingke dengan segala ke-Jawanismenya dan Belandanya. Buku ini saya kenal ketika saya menjadi penggemar Pram di masa awal Selma sudah menggilainya. Dulu, saya sama sekali tidak berhasrat kepada penulisnya, ia begitu merubah Selma.. Saya menikmati semua untaian kata-katanya, seperti biasa. Dan saya belum berhasilpun membacanya, apalagi keempatnya..Tetralogi yang saya habiskan sampai detik ini hanya sekedar Laasakar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Dan alhamdulillah, hasrat itu datang lagi untuk kali ini..
Bumi manusia memiliki banyak tokoh di dalamnya dengan keberagaman yang menyesuaikan bentuk, kondisi hidup Mingke di dalamnya. Dan kehadiran tokoh-tokoh tersebut dengan motif dan latar belakang yang tepat menjadikan buku ini semakin bicara, tidak sekedar dari sudut Mingke sebagai tokoh utama melihat. Setting yang digambarkan begitu detail, dan kemudian sastra memudahkan semuanya untuk diungkapkan. Bahasanya begituuuuuuuuu indah. Dan saya jatuh cinta. KOK BISA SIH, saya gemes sendiri. Tokoh Mingke yang dengan tegap gagah dan begitu muda seakan mudah dilihat oleh Pram yang pada saat itu dengan keterbatasannya di pulau Buru. Kultur yang begitu melekat, menampakkan nasionalisme yang kental dan tegar. Sosok masa depan begitu ada pada diri Mingke dan seolah-olah semua bentuk kehidupan sekarang telah diramalkan melalui sosok Mingke. Konflik dalam novel ini merupakan konflik sederhana kehidupan pribumi terhadap kolonialisme yang labil dan penuh kuasa, perseteruan mengenai status dan menuntut satu sama lain. Mengenai pandangan subjektif dan bagaimana menyakinkannya, barang satu dua hal yang jarang terjadi di dunia seperti Nyai dan Annelies begitu indah, sementara di luar sana menilai jauh sebaliknya. Keberuntungan dan kegigihan Mingke adalah poin-poin utama dalam novel ini, betapa ia mencintai bumi manusianya dengan sederhana. Betapapun ia begitu gigih mempertahankan apa yang ada di dalam benaknya. Betapa cerdasnya, dan sungguh betapa beruntungnya ia. Betapa seharusnya kemudian saya berbangga dengan status saya sebagai Jawa, sekalipun ada poin di mana saya tidak bisa menerima, kepada hal-hal yang bicara mengenai segala kekolotan Jawa yang selalu-harus-selamanya berdasarkan hierarki. Tingkatan. Yang di bawah tetaplah di bawah. Hanya bisa menerima. Hanya bisa mengalah. Jawa itu sabar, Jawa Mingke mengenai 5 hal, Wisma, Wanita, Turangga, Kukila, dan Curiga. Dan filosofinya begitu indah, keindahan tersebut yang pada akhirnya saya ambil kesimpulan mengapa para leluhur bertahan dan mempertahankan. Mengapa kita semua sebagai Jawa seharusnya bertahan. Bumi manusia ini rasanya sudah semakin kosong, semakin hilang, tanpa budi dan rasa para manusianya, kelimanya menunjukkan pedoman.
Novel ini bagus. Bagus sekali. Iramanya bernyanyi terpadu, dan sang penulis berhasil menjadikannya sebagai ilmu pengetahuan yang lengkap. Hati saya tak kian berhenti merasa terderu..
0 komentar:
Posting Komentar