Setiap terbangun adalah saja perangai-perangai liar menjalari tubuhku, mengaliri tiap air darahku, menyusup dalam hingar bingar pagiku.
Bergejolak, meradang, lalu mati. Tinggal diam
Kemudian, aku menatapinya. Kosong, hilang.
Sekiranya imaji, dan aku berelegi.
Saatnya ikut mati.
Lantas mengapa tidak sejak awal pergi. Biar aku tak lagi cari dari lorong-lorong sepi. Meskipun hanya sekedar luka yg terperi ketika kamu lari dari rumput berduri, padahal adalah rusa di atas sang sabana.
Hatiku ditepuk, dipetik, lalu ditepak. Nyaring bunyinya, seperti seruan hampa kemudian menggema, di rima rima. Luka satu
Kemudian, lembaran-lembaran kain bendera digantung setengah. Ada yang mati, dan pengharapannya sudah kadung beranjak. Itu aku dan yg pergi. Luka dua
Tar, tar, tar, tar, putar lima puluh tujuh kali. Kemana nanti. Luka tiga
imaji, lalu hal-hal yg tidak kuterima dengan hati sanguinku, ria, apatis, lagi. Aku ingin selesai, lalu reinkarnasi. Rindu pada rasionalisasi duniaku yg bukan komunisasi. Aku lapar dan butuh kembali. Hapus
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar