Senin, 21 September 2009

Mudik part3

Gimana ya, saya jadi susah ceritanya. Ini bukan masalah keadaan saya yg sedang susah, tapi lebih ke pada otak dan mulut saya yg jadi susah sah sah, terkontruksi namun juga sudah terkontaminasi oleh hal-hal liar. Sudah susah, parah, gelisah ditambah.

Nama saya Fenti, saya sudah 16 tahun, 16 tahun saudara-saudara! Tapi saya merasa kedewasaan yg selalu saya harapkan tak kunjung juga hadirnya.

Sehari di Pekalongan, saya dan keluarga langsung cabs ke Solo. Padahal saya kerasan di sana, kaya pembantu rumah tangga jadinya.
Yang saya ingat tentang Solo, adalah kuto batiknya juga, jalan-jalan di kotanya, Keraton, monarki(halah), makanan!, bakso, pasar, yah mungkin karena menurut saya, Solo adalah salah satu kota modern berkembang dan siap menuju metropolitan. Kotanya sudah ramai yg jual voucher kartu provider super milik saya, om saya kamar mandinya sudah bershower dan rumahnya bertivi flat setengah, sinyal melimpah, alalah. Ck

Jadi, ibu saya merencanakan yang lain. Saya droped- di suatu tempat, rumah salah satu saudara. Yah pakde saya juga deh. Ibu saya ikut membangun rumahnya, tapi belum utuh sepenuhnya. Jadi aneh adanya. Ternyata alm granny en graddy pernah tinggal di sini.

Anda tahu? Rumahnya beralas pasir belum tertanam ubin. Masih disekati kayu, namun cukup berdinding bata besar-besar. Yang sangat saya cintai adalah bentuk atapnya; Joglo, dan kakusnya lebar jongkok. Luas, dan buah-buahan di halaman rumahnya berlomba menjuntai ke bawah. Berharap saya bawa pulang. Mangga, nangka, dan lain lain.
Rumah orang desa gimana sih, sederhana yah gitu. Pintunya terbuka lebar, tanpa sedikitpun rasa takut pada sales yg tak diundang, masuk ke rumah atau garong iseng. Kali ini hartanya ada tv, yg untuk mencari channelnya harus diputar-putar. Kalo di Jakarta sudah sekitar 1:990 lah di tiap rumah-rumahnya.


Jadi, apa yg membuat saya susah?
Saya takut tidur di tempat berdebu
Saya takut banyu-putihne ngeroso lemmah.
Saya nggak tau mau apa, serius. Paling asoy cuma warung di seberang, jualannya juga cuma jahe serbuk en kopinya cuma kopi burung berbulu indah. Akhirnya seperti yg terakhir saya lakukan, nonton tivi sama ayah saya. (Berita pembagian sembako maut). Yeah, metlek juga jadi temen setia, menemani saya menyetir, meneriakkan nama kudanil di mobil, dan berkencan di warung.
Saya males tempatnya panas, yah ini kota tapi masih desa. Nggak sejuk kaya di Pekalongan.
Saya ngerasa saya di sebuah reality show
Saya maunya nginep di rumah om aja. Zz
Ibu saya ngotot nginep di sini, sampai dia beli kasur, dia bilang khusus, buat saya. Karena dia (SOK) tau saya nggak bisa bertahan hidup.

Then, saya merasa tolol. Saya nggak melihat apa yg ingin (mungkin) orangtua saya lihat pada diri saya dan metlek.
Saya jadi prihatin, bude saya. Wanita yg menikahi pakde. Begitu benar-benar tampak seperti yg ada pada buku cerita saya waktu Sd. Tipikal wanita kuat juga, cekatan, namun dia terlihat santun, ayu, tabah, dan sumpah.. Dia seperti Ibu Kartini. Horey, dan kalau dia tahu apa yg ada di hati saya dia pasti akan menerima dan sadar, dan saya akan semakin terpekur. Bersalah.
Keluarga di sini nggak ada yg terlihat susah. Muka saya yg susah. Susah hidup.
Saya benar-benar jadi susah, ya saya ngga mau jadi munafik. Saya merasa nggak nyaman, bener-bener deh.. ampun. Saya kangen, kangen rumah susun. Tapi di sisi lain, saya ingat bude, dan almarhumah eyang uti dan alm. Yangkung.
Gimana dong?
Kenapa saya nggak bisa ya jadi wong ndeso? Sederhana gitu. Padahal saya sendiri yg bilang kalo saya sudah bosen sama yg nggak sederhana.
Nanti, kalau suatu saat saya jadi ibu dan istri, bagaimana kalo saya ngga bisa menerima kesederhanaan yg sudah menyambut saya.

Saya jadi semakin susah. Saya mau belajar, belajar kesederhanaan dari keluarga saudara saya. Saya mau jadi wanita yg santun dan kuat. Wah kalo sudah begini, saya jadi mikirin nanti teman hidup saya. Haha saya jadi mau juga bertemu mantan-mantan pacar ibu saya.
Nanti, saya mau cari yg menerima apa adanya saya seperti Ayah saya, dan saya juga aka memberikan seluruh adanya saya seperti Ibu saya.
-semakin susah semakin ngawur fikiran saya-

0 komentar: