Nggak ada yang lebih bisa menentukan mana yang lebih baik, terutama di saat-saat kita menjadi individual yang benar-benar menjadi idealis seperti sekarang. Tapi untungnya, memiliki sahabat menjadikanmu lebih baik. Seseorang pernah bilang ke gua, kalo hal-hal yang sepele merele yang gue hadapi adalah sia-sia kalo dibahas terus, percuma dua-duanya mau dianggap benar. Terus ada juga orang yang selalu tidak pernah menganggap siapapun salah diantara yang bertikai. Terus, ada juga yang membela, tapi pura-pura simpati ceritanya, gak tau main di belakang lagi atau nggak. Ada juga sahabat yang mendidik kita apa adanya, yaitu membela kita selamanya.
Setelah itu yang namanya punya masalah, akhirnya berkacalah kita sama hati. Sama Tuhan.
Mejadi seniman memang pekerjaan terhina. Sukanya menghina, dan selalu dihina.
Seniman juga tidak begitu saja memutuskan dirinya sebagai seniman, tapi orang-orang yang menyebutnya demikian. Baru, setelah itu ia tersugesti dan merasa ia jadi seniman. Padahal sebetulnya dia juga nggak tau persis baik-buruknya seniman.
Jadi, manusia di zaman SMAnya sama persis dengan proses seniman menjadikan dirinya sendiri.
Ini bukan paragraph analogi yang baik. (-___-)” padahal kan nggak mau nulis ginian
Rabu, 07 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar