Minggu, 05 September 2010

Antropologi

Ada laki-laki yg kuliah antropologi dengan tipikal wajah tampan, cerdas, dan rajin sholat, malam ini? Mau saya nikahin deh, mau saya tanya-tanya, sejuta pertanyaan sudah saya simpan.

Saya mengalami hidup yang baru, hidup menjadikan saya sampai detik ini. Hidup yg me-muka-dua-kan saya. Ya Allah amit-amit. Ini hanya sekedar sharing, mungkin yg kalian alami adalah sama seperti yg saya alamin, sekarang dan sebelumnya. Well, tepatnya adalah betapa pentingnya arti domisili, asal kita. Bagaimana image yg terbentuk dalam diri kita, dan seperti apa pandangan yg terlihat dari cerminan diri kita. Yang lebih penting lagi, pandangan kita tehadap pandangan orang lain mengenai kita.

Kalo masalah khianat-khianatan, saya udah makan asem garem kali ya. Sahabat saya subjek pelakunya, dan saya objek nangisnya, dulu. Tapi, siapa tahu di dunia baru saya ini.. begitu banyak calon-calon pengkhianat yang bertebaran di sekitar. Saya sih baru sekedar ber-pendapat sekaligus cuma menyampaikan ke-suudzonan saya, tapi semua teman-teman setuju. Dan kita mengacung jadi satu!

Tapi saya berharap nggak ada lagi khianat-khianatan kepada diri saya.

Yang saya nggak habis pikir adalah, bagaimana sebisa mungkin mereka bisa menjadi sehalus itu. Dalam kata lain, segala rahasia yg mereka bicarakan nggak sempat terdengar sama objeknya. Padahal, kita dalam satu kota yg kecil, dan mengaku kenal semua orang yang teman kita kenal.

Karena saya terbiasa bicara, saya akan bicara. Karena saya juga ada turunan, mungkinkah saya juga akan bermuka dua. Sama saja, tho? Buat saya pribadi, saya cenderung ke pilihan yg pertama, saya tipikal orang yang gak tahan sama grasak-grusuk di belakang saya, mendingan saya nangis kojot-kojot di depan orang yg ngomongin saya sekaligus.. daripada masalahnya kesimpen terus.

Domisili jawabannya. Ketika kita berasal dari bumi yang sama, kita akan bicara mengenai hal-hal yg cenderung sama, sekalipun itu cenderung jauh dan nggak ada hubungannya, tapi pasti ada kesamaan yg tidak disengaja yg ngejadiin itu semua otomatis sama. Pikiran orang-orang yg terlatih berpikir, melihat, bicara, membaca, menilai, itu berbeda sama sekali dengan pikiran orang-orang yg sekedar memiliki materi dan mengandalkan segala pengalaman ikan cere. Sama busuknya saya ngomongin mereka. Oh, bodo amat. Di bumi Betawi, hidup adalah pembicaraan.. jaga bacot di depan orang-orang yg bener dianggep kudu disopanin aje, brur. Makanya kalau mau dihargai, hidup itu harus menghargai hidup orang lain.

Buat saya, semua yg ditunjukkan kepada saya.. nggak ada yang lebih baik, anak orang kaya lah, mobil lima lah, rumah sepuluh, bla..bla..bla.. ketimbang saya menemukan orang-orang yg sebenar-benarnya ada buat saya kalo saya sakit dan butuh mereka. Orang-orang yang masih bisa dipercaya, orang-orang berotak dan memiliki wawasan masa depan (robotkaliya), it’s okey, sekalipun nggak ada yg dia punya. Saya janjiin diri saya buat selalu ada untuk dia. Dia punya saya. Dan, sekalipun saya ngga punya apa-apa, nggak berotak, nggak bermoral, dan sebagaimanapun, saya selalu janjiin orang yg saya pilih.. saya ada selamanya buat dia. Swear.

Padahal, saya menyukai laki-laki tipe orang Solo, lembut, halus, dan berbudaya Jawa yang gimaanaaa gitu. Ngalus lah ya pokoknya, hidupnya teratur. Tapi, sangat disayangkan kalau budaya bicara di belakangnya masih kuat. Medingan saya nikah sama reman Petamburan sekaligus.

Yang saya ingin tanyakan pada suami antropologi malam ini adalah, benarkah kehalusan budi itu cukup ditunjukkan dengan bentuk senyuman sok halus di muka? Lalu bagaimana mengenai segala hal baik yg dibutuhkan di belakangnya? Patutkah saya kembali percaya? Padahal saya sayang banget sama mereka. Tapi saya takut, saya takut menjual diri saya. Karena diri saya separuhnya adalah terdiri dari serpihan-serpihan payau sisa percaya saya. Saya ingin percaya pada siapapun yg percaya sama saya.

Sayangnya tidak ada satupun mahasiswa antropologi yg mendengar saya. Ya sudah kita bercerai saja sama perasaan. Dan beradu cinta dengan bantal. Selamat tidur!

0 komentar: