Dan akhirnya kata tamak yang menyelubungi ketika kita berfikir siapa yang harus berperan di pojok sana atau di bawah lampu merah. Aku mau ini! Aku mau itu!
“Diam! Tolol kalian semua”
Pak sutradara marah, dan saya menangis di bangku penonton. Melihat yang lain bisa mendapat peran di sana. Diledek sama tukang pel auditorium. Teriak. Tapi dalam hati
Dawai-dawai biola membunuh saya, dan dentingan piano menelusupi saya. Lalu ada bayang-bayang lighting mewarnai muka saya yang terhempas dari panggung.
“Mereka tetap menari. Aku mau.”
Hentakan kaki saya menuju gelak tawa para kecoak. Saya menarik urat mencari jalan kembali. Meliuk, dan membuka vokal.
Saya dilirik, namun tetap pelik.
Namanya peran. Dilihat ratusan pemuda-pemudi, bapak-ibu, dan saudara-saudari. Usai dua hari menjelang pementasan, dan lampu lampu sudah siap terpasang, lagi layar violet penuh menutupi panggung.. dan sore hari melintas pada wajah saya dan mereka..
"Aku mati, untuk dia Pak Sutradara.. biar gelombang puas memangsaku dan temukan aku di teluk emas, di ujung dunia.."
"Aku begitu mencintai panggung, dan tak mampu hidup tanpanya.."
"Biar aku menelanjangi diriku dan menggelun setiap sudutnya.."
"Aku selalu rindu di tiap detik hidupku.."
"Aku mau peran itu."
Lalu Pak Sutradara bilang, “sudah, sana mati..”
Namanya peran. Dan aku begitu mengerti tentangnya. Karena sudah separuh abad, aku bersamanya. Si tua Bangka itu tau apa-ap dan segala. Saya tau ia seperti biasa.
Saya merenung di atas panggung.
"Gung.. aku cinta sama kamu.. tapi biarkan mereka saja ya yang merajahimu.. nanti kita bercinta lagi.. kalau aku ditemukan di tanjung emas.. biar mayatku mati di atasmu.. aku janji kita coba gaya baru, dan pakai pengaman.."
Saya meracau, memerankan panggung seperti om Bernard kemarin malam. Tak ayal mendesah lesu.
Hari pementasan. Panggungnya licin. Assisten sutradara mati tergelincir, lampu mati menjatuhi tukang lampu, dan dawai-dawai biola enggan bergeming. Semua mati.. dan layar violet jenuh.. jatuh..
Saya datang. Dan semua tenang. Semuanya berteriak lagi, dan jenset ternyata hidup lagi. Kebetulan sekali.
Kata si tua Bangka, "dia cintanya sama kau. Naik sana geluti dia.. ayo keluarkan egomu, dan jangan lupa nafas perut.. mulai adegan tiga, bagian favoritmu, menari.."
"bolehkah"
"iya sana" Hening. "yak lighting siap.. nyala.. layar bukaa.. act.."
Saya menari terus menari, sampai lampu tak henti menyoroti. Panas, dan terhempas.. tapi jatuh di atasnya.. panggung.
Sekarang orang di belakang panggung bergumam, kostum, make up, property, dan dawai-dawai biola. Membicarakan saya, mereka mengagungi kecintaan saya sama panggung, dan panggung cinta saya akhirnya..
Adalah yang jalang dan munafik, sekarang dihukum sama si tua Bangka pak Sutradara.
Yang cinta, dan jujur dapat yang cinta dan yang jujur…


dan saya memutuskan bersyukur lagi..
0 komentar:
Posting Komentar