Saya terus berpuisi, setelah mengetahuinya, sampai ke kamar mandi pun. Saya mendengar deru-nya menenangkan saya, dia begitu menjadi pujaan saya.
“udah dong nak, ayo jangan nangis sayang, masih ada yang lain..”
Saya begitu mengetahui apa yang ada di benaknya, dia berharap sama saya.
Cita-cita saya menjadikan impiannya ada di hadapannya. Cita-cita saya menjadikan dia tersenyum, dan percaya sama saya, saya baik-baik saja di sana. Saya mau kuliah di luar kota, dan hanya di sana tempatnya yang dia izinkan. Jadi, saya begitu berharap.
Lalu, apa esensi dari sebuah do’a?
Ya, karena semuanya hanya saya gantungkan pada sebuah doa. Lha wong saya nggak ikut tes atau apapun, saya cuma kasih rentetan nilai-nilai, dan bayar. Jadi, saya cuma pasrah dan berdoa. Dan, meminta ke pada siapapun yang lewat untuk tetap mendoakan saya agar saya berhasil di sana.
Tapi, komunikasi adalah jurusan favorit. Dan, saya rasa untuk menjadi salah satu bagiannya bukanlah hal yang mudah. Semudah dia membuat saya menangis, dengan memeluk saya sambil berkata “genduut, kakak mau bohongin ibu ya, ayo ngaku kalo diterima..”
Saya mati kaku, rambut saya basah dipeluk guling.
Begitu banyak tanya yang mau saya ajukan.
Mengapa Tuhan tetap berikan harapan, jika pada akhirnya hanya menjadi ratapan penuh sama sesal. Saya benar-benar merasakannya, Karen saya begitu berharap. Sesungguhnya, ada benarnya juga kata dia, saya masih ada keraguan di masa-masa penantian, dan itu adalah kesalahan. Karena seperti yang selalu saya bilang, jangan meyakini sesuatu dengan setengah-setengah keyakinan, lebih baik percaya Tuhan benar-benar ketimbang, masih meragu di mana letak Tuhan dengan menjalankan ibadahNya setengah-setengah. Tapi, saya tolol. Nyuruh orang bisa, kontrol diri sendiri gakk bisa :)
Saya jadi sempat mengerti, mengapa ada kalangan-kalangan tertentu jadi benci sama Tuhan, saya sendiri sedang meyakini untuk menghapus rasa yang sempat menyinggahi saya 2 jam yang lalu itu. Saya masih meyakini diri saya, ini adalah tanda cinta.
Yang, saya sesali. Masih ada alasan dari dia. Itu tandanya kesalahan ada pada saya.
Saya nggak tau mau apa. Kalau saya mau bunuh diri, masih ada UN yang menuntut saya. Saya masih punya metlek yang mampusin’ saya gak ketrima, yang masih menjadi tanggung jawab saya. Saya masih punya Ayah, sama dia. Saya masih punya orang yang belum sempat saya jabarkan mengenai perasaan. Saya belum punya buku untuk diterbitkan. Saya belum pernah ke Papua, dan London. Saya belum punya babies. Saya belum punya coffeeshop. Saya belum bekerja di kantor. Saya belum melihat anak-anak dari sahabat-sahabat saya. Saya belum pernah.. bla bla bla
Yaudah, saya tenang. Saya bersyukur lagi punya sahabat, yang selalu jadi bantal empuk, dan membuat saya terpelanting bangkit lagi. Insya Allah.
Saya cinta sama Allah SWT, saya masih menanti kejutannya ya Allah.
Pelajarannya adalah, bagaimana kita menghadapi hidup dan segala keinginan di dalamnya, dengan menjadi manusia yang lebih santun. Dengan cara meyakini segalanya dengan sungguh-sungguh dan mengimaninya sama ketika kita mengimani Allah jua akan mengabulkannya. Dan ketika kita tidak mendapatkannya, namanya takdir.
Duhai, yang MAHA PENYAYANG.. saya tahu betapa Engkau begitu mencintaiku. Masih ada nafas-nafas kampus perjuangan, masih ada kampus-kampus swasta yang kegatelan, masih ada SPMB Swadana, masih ada tangisan yang cukup untuk membujuk dia, agar diizinkan aku ke Jogya, atau ke Bandung sekalian. Amien
Senin, 01 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar