
Malam, di bulan Desember..
Tatkala mataku terpejam, disiram hujan nan menggerimisi tanah sejak sore..
Aku memeluk angin cemara nan gusar meniupiku..
Hari itu aku berdo’a pada Tuhan.. biar gelap enggan menjauh..
Aku ingin engkau melabuh..
Menyambangiku, dengan mawar merahmu..
Dan cerita perkampungan Acehmu.
“Nung, kamu apa kabar? Ada apa di ujung Indonesia, makin dekatkah kita pada Ka’bah”
“Nung, siapa nan memelukmu kemarin? Masih basahkah cangkir kopimu?”
“Nung, apa yang kau telan, tidakkah cukup sate kapuran, yang kau pinta?”
Nung, segala elegi adalah mengenai kamu. Segala, hasrat yang menggelora di darahnya ada padamu. Betapa aku merindu, berharap sekali saja menatapmu lagi, dengan parfum hangatmu.. dan segala pesonamu nan merembulan.. tak hilang dan menggema terus, menggerus semua.
Akhirnya kau datang..
Bawa kamera, pembaca. Dan menyambutku dengan mata elangmu..
Jadi begitu ranyah matamu
Jadi, bisu aku.
“Adinda, kulo tresno koe nduk.. kesuwun yen tlah tresnani kulo.. mari menikah kaleh kulo.. mengko tak buatkan Borobudur dua untukmu.. ben Waisak selanjutne kita jalani bersama, ndelokni mereka”
“Mari, kangmas..”
Tahu apa? Di dalam hatiku. Pelangi. Engkau mendidikku untuk menunggu. Menunggu sesuatu. Menunggu nung’, menunggu pelukannya.. biarpun dia sempat menghilangkan Tuhannya, atau mencintai sesamanya, atau menggelora dengan super model.. tapi ia kini bojo’ku. Nicholas Saputra. Mimpi indah. Ngarep mode : on
0 komentar:
Posting Komentar